Entri Populer

Selasa, 09 November 2010

Zulqarnain..Kisah Sejarah Islam
ZULQARNAIN, MODEL PENGUASA ADIDAYA



Jika dicermati, pemaparan Al-Qur’an tentang kisah Zulqarnain sangatlah unik. Penguasa besar yang kerajaannya terbentang dari timur hingga barat ini diceritakan hanya dalam enam belas ayat (QS Al-Kahfi: 83-98). Itupun tanpa menjelaskan identitas lengkap, masa pemerintahan dan lokasi kerajaannya. Keunikan ini bukan tanpa alasan. Sayyid Quthb menjelaskan dalam azh-Zhilal, bahwa memang demikianlah karakter umum kisah-kisah Al-Qur’an. Tujuan utamanya bukan aspek kesejarahan, melainkan pelajaran (ibroh) yang dapat dipetik darinya.




Zulqarnain adalah penguasa Adidaya. Al-Qur’an menggambarkannya dengan singkat tapi jelas, “Sesungguhnya Kami telah memberinya kekuasaan di muka bumi, dan Kami telah memberikan kepadanya jalan [untuk mencapai] segala sesuatu”. (QS Al-Kahfi: 84). Ayat-ayat berikutnya semakin mengukuhkan kekuasaan tersebut. Zulqarnain melakukan perjalanan jauh ke ujung barat dan ujung timur, lalu perjalanan jauh lainnya ke sebuah negeri asing. Lantas, apa pelajaran yang dapat dipetik dari kisah penguasa besar ini?

Pertama; Asas peradaban Zulqarnain adalah ilmu. Menurut Ibn Abbas, seperti dinyatakan Ibn Katsir dalam at-Tafsir, as-sabab yang diberikan Allah kepada Zulqarnain adalah ilmu. Dengan ilmu inilah Zulqarnain meningkatkan kemampuan (al-qudrah) dan mengembangkan sarana (al-alah) sehingga mampu mencapai kemajuan-kemajuan besar dalam pemerintahannya.




Kedua; Menegakkan kebenaran dan keadilan berdasarkan nilai-nilai wahyu. Falsafah hukum Zulqarnain adalah, menghapus kezaliman dengan menjatuhkan sanksi berat kepada pelakunya, dan memberi banyak kemudahan kepada orang-orang yang gemar kebaikan (QS Al-Kahfi: 87-88).




Kebijakan semacam ini sangat efektif dalam membangun kekuatan dalam negeri. Karena ketika orang-orang baik mendapat tempat, kemudahan dan balasan yang setimpal, sementara orang-orang zalim menerima sanksi, dipermalukan dan dijauhkan dari lingkaran kekuasaan, maka rakyat akan termotivasi untuk semakin baik dan produktif. Demikian yang diungkapkan Sayyid Quthb dalam azh-Zhilal.




Ketiga; Menjunjung kesetaraan, berbagi kemajuan, dan memakmurkan dunia dengan tetap bersikap rendah hati. Inilah prinsip kebijakan luar negeri Zulqarnain, terlebih lagi dengan negara yang lebih kecil dan lemah.




Dalam perjalanan ketiga, Zulqarnain tiba di sebuah negeri yang meskipun tampak indah dan kaya akan sumber daya alam, tapi masyarakatnya lemah dan terbelakang. Dikatakan lemah, karena mereka sering menjadi sasaran keganasan Ya’juj dan Ma’juj dan tidak berdaya untuk sekadar mempertahankan diri. Mereka juga terbelakang dalam banyak bidang, terutama budaya dan teknologi.




Ada dua indikator keterbelakangan yang dipaparkan Al-Qur’an. Pertama, mereka tidak menguasai bahasa Zulqarnain sehingga sulit berkomunikasi dengan penguasa besar tersebut, “la yakaduna yafqahuna qaula”. Padahal, sebagai penguasa peradaban dunia kala itu, bahasa Zulqarnain adalah bahasa internasional yang sangat populer. Kedua, ketika minta bantuan Zulqarnain untuk melindungi mereka dari Ya’juj dan Ma’juj, mereka hanya mengajukan pembangunan sebuah tembok biasa (as-sadd). Padahal saat itu Zulqarnain sudah menguasai teknologi konstruski tembok dengan meterial berlapis yang jauh lebih kuat (ar-radm).




Karena lemah dan terbelakang, wajar jika masyarakat ini memanfaatkan momentum kedatangan Zulqarnain, Sang Penguasa Adidaya, untuk mengiba dan memohon bantuan, agar dapat bertahan dan hidup lebih aman. Untuk memenuhi hajat asasi ini, mereka pun ‘nekat’ membayar jasa Zulqarnain dengan kekayaan alam mareka (al-kharj/al-kharaj).




Apa sikap Zulqarnain? Disinilah Zulqarnain menunjukkan kebesarannya sebagai penguasa adidaya. Dia menolak tegas bayaran tersebut. Baginya, kekuasaan tidak identik dengan keserakahan. Kelemahan dan keterbelakangan bangsa lain tidak dilihat sebagai kesempatan emas untuk mengeksploitasi dan mengeruk habis kekayaan alamnya untuk menunjang kesejahteraan negara maju. Bagi Zulqarnain, kekuasaan adalah amanah peradaban dari Allah swt yang manfaatnya harus dirasakan oleh seluruh penduduk dunia, “Apa yang dikuasakan Allah kepadaku adalah lebih baik [daripada bayaran itu]”. (QS Al-Kahfi: 95).




Zulqarnain tidak hanya memberi bantuan gratis, tapi juga melibatkan penduduk setempat dalam proyek berteknologi tinggi yang dibangunnya. Artinya, ada upaya pengalihan teknologi dan peningkatan kemampuan masyarakat terbelakang tanpa pamrih apa pun. Simaklah arahan-arahan Zulqarnain berikut, “Maka bantulah aku dengan kekuatan [manusia dan alat-alat], agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka, berilah aku potongan-potongan besi”. Hingga apabila besi itu telah sama rata dengan kedua puncak gunung itu, berkatalah Zulqarnain, "Tiuplah [api itu]”. Hingga apabila besi itu sudah menjadi [merah seperti] api, diapun berkata, "Berilah aku tembaga [yang mendidih] agar aku tuangkan ke atas besi panas itu." (QS Al-Kahfi: 95-96).




Demikianlah keteladanan yang diberikan penguasa adidaya yang saleh. Kekuasaan tidak menjadi alat keegoan negara maju untuk tetap tampil sebagai ‘negara besar’, melainkan amanah peradaban yang harus berubah menjadi rahmat bagi semesta alam.




Sumber: Kolom Ibroh, Majalah Islam Sabili No. 18 TH.XVI Maret 2009

sholat berjamaah

Solat berjamaah adalah solat yang dilakukan secara bersama, dipimpin oleh yang ditunjuk sebagai imamnya. Solat-solat yang bisa dikerjakan berjamaah adalah:




1. Solat Lima Waktu: Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya

2. Solat Jum'at

3. Solat Tarawih

4. Solat Ied Fitri dan 'Idul Adha

5. Solat Jenazah

6. Solat Istisqa (Minta Hujan)

7. Solat Gerhana Bulan dan Matahari

8. Solat Witir




Cara Melakukan




Berniat dalam hati bahawa ia menjadi makmum atau iman. Adapun seseorang yang pada mulanya solat sendirian, kemudian ada orang lain yang mengikuti di belakangnya, baginya tidak dituntut sebagai imam.




Makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat berdirinya maupun gerakannya selama solat berjama'ah berlangsung. Makmum diharuskan mengikuti sikap/gerak imam, tidak boleh terlambat apa lagi sampai tertinggal hingga dua rukun solat.




Apabila makmum menyalahi gerakan imam (sengaja tidak mengikutinya) maka putuslah arti jama'ah baginya; dan ia disebut mufarriq.




Antara imam dan makmum harus berada dalam satu tempat yang tidak terputus oleh sungai atau tembok mati kerana itu berjamaah melalui radio atau seumpamanya dalam jarak jauh, tidak memenuhi syarat berjamaah.




Imam hendaklah orang yang berdiri sendiri, bukan orang yang sedang makmum kepada orang lain. Selain itu, imam hendaklah seorang laki-laki. Perempuan hanya dibenarkan menjadi imam sesama perempuan dan anak-anak.




Solat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada solat sendirian (munfarid). Solat berjamaah paling sedikit adalah adanya seorang imam dan seorang makmum.




Bila seseorang terlambat mengikuti solat berjamaah, hendaklah ia segera melakukan takbiratul ihram, lalu berbuat mengikuti imam sebagaimana adanya. Bila imam sedang duduk, hendaklah ia duduk, bila iamam sedang sujud iapun harus sujud; demikian seterusnya. Apabila imam sudah memberi salam, hendaklah ia bangun kembali untuk menambah kekurangan raka'at yang tertinggal dan kerjakanlah hingga raka'atnya memenuhi.




Ukuran satu rakaat solat ialah ruku'. Bila seseorang mendapatkan imam ruku dan dapat mengikutinya dengan baik, maka ia mendapatkan satu rakaat bersama imam.




Rasulullah s a.w. bersabda: "Apabila seseorang di antara kamu mendatangi shalat, padahal imam sedang berada daam suatu sikap tertentu, maka hendaklah ia berbuat seperti apa yang sedang dilakukan oleh imam". (HR Turmudzi dan Ali r.a. )




Hikmah Berjamaah




Solat berjamah mengandung faedah dan manfaat yang bervariasi sesuai dengan kepentingan umat dan zaman. Melalui jamaah, silaturahmi antar umat, disiplin, dan berita-berita kebajikan dapan dikembangkan dan disebarkan luaskan.




Rasulullah s a.w. bersabda: Solat berjamaah itu lebih utama nilainya dari solat sendirian, sebanyak dua puluh tujuh derajat" (HR Bukhari dan Muslim).




Imam (Ikutan)




Imam adalah ikutan, demikian pengertiannya. Untuk menjadi seorang imam diperlukan beberapa persyaratan yang mengikat. Misalnya memiliki usia yang lebih tua atau dituakan, memiliki pengetahuan tentang Al Quran dan hadits Rasulullah s a.w., memiliki keindahan bacaan dengan ucapan yang fasih (kalau di zaman Rasulullah s a.w., peribadi-peribadi yang lebih dahulu hijrah diperhatikan untuk menjadi imam.




Kerana imam adalah ikutan, maka pemilihan pribadi amat diperhatikan. Pro dan kontra yang berlebihan atas seseorang imam kerana dosa besarnya yang menonjol, pasti akan membubarkan jamaah. Adapun dalam kesalahan umum, maka semua manusia tidak suci dari dosa. Seorang yang biasa menjadi imam, maka tidak ada salahnya untuk sewaktu-waktu ia berada di belakang imam yang lain. Walau dia sendiri mungkin lebih baik dari imam yang bersangkutan.




"Dari Abdullah bin Masud, dia berkata: Rasulullah s a.w. bersabda: "Menjadi Imam dari suatu kaum ialah mana yang lebih baik bacaan Al Qur'annya. Bila semuanya sama bagusnya, hendaklah imamkan mana yang paling alim (banyak tahu) akan sunnah Rasul. Kalau semuanya sama alim tentang sunnah Rasul, maka dahulukan mereka yang lebih dulu hijrah. Kalau mereka sama dahulu hijrah, maka iammkanlah mereka yang lebih tua usianya" (HR Imam Ahmad dan Muslim, dari Abdullah bin Mas'ud).




"Kalau mereka ada bertiga, hendaklah diimamkan seorang. Yang lebih berhak menjadi imam ialah yang lebih banyak bacan (tahu tentang bacaan Al Qur'annya)". (HR Imam Muslim, Ahmad dan Nasa'i dengan sumber Abi Said Al-Khudry).




"Tidaklah halal bagi seorang mukmin yang imam kepada Allah s.w.t. dan hari akhir yang mengimami sesuatu kaum kecuali atas izin kaum itu. Dan janganlah ia mengkhususkan satu do'a untuk dirinya sendiri dengan meninggalkan mereka. Kalau ia berbuat demikian, berkhianatlah ia kepada mereka". (HR Abu Daud dari Abu Hurairah)




Keadaan Shaf




Solat salah satu ibadah yang menghubungkan peribadi kepada Allah s.w.t., dan juga mengatur hubungan sesama manusia. Solat yang baik mendatangkan tamsil yang indah dan berguna.




Shaf yang baik akan menghemat tempat, merapikan barisan dan kesatuan jamaah serta mendatangkan nilai tambah bagi ibadah itu sendiri, bahkan menjadi cermin disiplin kehidupan dan pergaulan.




Rasulullah s a.w. bersabda: "Aturlah shaf-shaf kamu dan dapatkanlah jarak antaranya, ratakanlah dengan tengkuk-tengkuk". (HR Imam Abu Dawud dan An Nasa'i disahihkan Ibnu Hibban dari Anan).




Sering orang mengira bahawa shaf yang baik adalah shaf yang dilakukan secara santai-lapang. Tidaklah demikian sebenarnya.




Untuk Shaf yang Baru




Bila shaf terisi penuh, maka mulailah dengan shaf yang baru dari arah sebelah kanan. Bila yang terbelakang hanya seorang diri, maka usahakanlah ia dapat masuk shaf yang sudah ada; atau tariklah seorang anggota shaf yang ada untuk menemaninya (yang ditarik pasti mahu, andaikan ia mengerti tata tertibnya).




Shaf Kaum Wanita




Shaf kaum wanita sebaiknya terletak di belakang shaf kaum lelaki, sementara shaf anak-anak berada di tengah; demikian bila dimungkinkan. Bila tidak, shaf makmum lelaki dan wanita bisa diatur secara sejajar; atau mungkin tercampur sama sekali, bagaikan jamaah musim haji di masjidil Haram, Makkah. Shaf yang bercampur baur sebenarnya kurang baik, bahkan mudah mengandung fitnah; sementara solat itu sendiri mencegah kekejian dan kemungkaran, yang akan mendatangkan fitnah, apalagi jika melakukan solat.




Rasulullah s a.w. bersabda: "Sebaik-bauknya shaf kaum lelaki itu di depan, dan seburuk-buruknya ialah di bagian belakangnya, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita itu ialah pada bagian akhirnya dan sejelek-jeleknya ialah di bagian depannya". (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah).




Pengganti Imam




Bila solat berjamaah, sebaiknya orang yang di belakang imam adalah mereka yang merasa dirinya siap sebagai pengganti, bila tiba-tiba imam mendapat halangan, umpamanya batal, jatuh sakit, lupa ingatan, terlupa rukun dan sebagainya. Apabila seseorang solat di sebuah masjid di luar asuhan atau daerahnya sendiri, maka dia tidak boleh langsung bertindak menjadi imam, kecuali bila diminta. Mungkin saja disana sudah ada jadwal imam tetap. Begitu pula bila ia bertamu, kerana yang paling hak menjadi imam adalah tuan rumah sendiri, kecuali bila ia diminta.




Imam Yang Arif




Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s a.w. bersabda: "Manakala seseorang di antara kamu solat bersama-sama orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (memendekkan) bacaan surat atau ayat-ayatnya. Mungkin ada diantara jamaah yang tidak tahan lama berdiri, ada yang sakit, atau ada yang sudah tua. Dan manakala seseorang dari kamu itu solat sendirian, maka silakan ia memanjangkan bacaan sekehendaknya". (HR Bukhari dan Muslim).




Khutbah dipendekkan dan solat diperpanjang, demikian petunjuk Rasulullah s a.w. Di pejabat, pekerja dibatasi oleh waktu, maka khutbah yang pendek sangat tepat dan bermanfaat. Khutbah yang seakan-akan cerita bersambung, membosankan, akhirnya jama'ah berbual dan mengantuk.




Ringkasan




* Kalau solat di rumah, maka tuan rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali tuan rumah mempersilakannya.

* Orang yang bagus bacaan Al-Qurannya lebih diutamakan untuk menjadi imam.

* Bila solat telah berlangsung, mereka yang datang belakangan terus saja mengikuti imam yang sudah ada.

* Imam sedapatnya orang yang lebih disukai makmum, kerana iman itu dipilih untuk diikuti.

* Imam sahabat rawatib, sebaiknya oleh imam yang biasa ditetapkan, kecuali ada kesepakatan menunjuk orang lain sebagai imam.

* Imam yang fasih lebih utama, sebagai halnya seorang yang dituakan, baginya amat layak menjadi imam dalam solat.

* Imam itu bertanggung jawab atas makmumnya, kerana itu seorang imam harus tahu benar dengan kedudukannya.

* Orang makmum yang tepat berada di belakang imam, hendaklah seorang yang amat tahu dalam masalah ibadah yang sedang dilakukan. Mereka harus bertindak tepat pada saat imam batal, salah, lupa dan sebagainya. Bila perlu ia berhak menggatikan imam, sekalipun imam berkebaratan atau tidak tahu tentang kesalahannya.

* Seorang di belakang imam berlaku sebagai barometer, berhak meluruskan baris atau shaf di kanan dan kirinya.

* Apabila selesai solat, imam segera duduk mengarah ke jamaah. Sebaiknya imam berdzikir secara pelan dan kusyu, dan jamaahpun berdzikir atau berdoa sesuai kata hatinya; demikian yang terbaik.

* Bila imam berdoa, diaminkan atau tidak diaminkan, doa imam sudah membawa kepentingan jamaahnya.

berwudhu

Cara atau jalan untuk membina mental dan rohani sungguh banyak sekali. Jalan yang pasti ialah mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengekalkannya yang disebut sebagai ibadah. Salah satu mata rantai ibadah itu adalah Wudhu'.




Kegunaan Air Wudhu




* Untuk segala macam solat hukumnya wajib.

* Untuk Thawaf di Ka'bah, thawaf apa saja, hukumnya wajib.

* Sewaktu hendak membaca Al-Qur'an hukumnya sunnat

* Sewaktu hendak tidur atau lain-lain perbuatan yang baik, hukumnya sunnat




Alat Yang Dipakai




Alat yang dipakai ialah air. Meskipun demikian, air yang digunakan untuk berwudhu' adalah air yang suci lagi menyucikan (pengertiannya?), iaitu: Air hujan, Air Sumur, Air Sungai, Air Laut, Air dari mata Air, Air Telaga, Air Danau, Air Ais, Air Ledeng.




Cara-caranya




Berniat dalam hati bahawa berwudhu' untuk..., lalu:




* Membasuh muka dengan air (cukup sekali asalkan merata ke seluruh muka)

* Basuhlan tangan hingga sampai dengan kedua siku (cukup sekali asal merata).

* Sapulah sebahagian kepala, cukup sekali saja

* Basuhlan kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (cukup sekali asal merata).




Bila dikerjakan seperti di atas, maka wudhu' sudah sah.




Berwudhu' yang lebih sempurna




Bila ingin berwudhu' lebih sempurna, yakni sempurna lahiriah dan sempurna pula dalam ganjaran, maka kerjakanlah tabahan-tambahannya dengan cara sebagai berikut:




1. Mulailah dengan mengucapkan Bismillaahir rahmaanir rahiim...




2. Menghadaplah kearah kiblat




3. Usahakanlah berwudhu' dengan tidak meminta bantuan orang lain, seperti menimba, dan sebagainya.




4. Basuhlah jari-jari tangan dengan menyelat-nyelatinya. Dan bagi jari yang bercincin, jam atau perhiasan yang dipakai di jari-jari lainnya, bukalah perhiasan tersebut agar air dapat merata membasahi seluruh jari-jari.




5. Berkumur-kumur.




6. Masukkanlah air ke dalam hidung, lalu keluarkanlah kembali (istinsyaq).




7. Gosoklah gigi untuk menghilangkan sisa makanan dan bau mulut yang kurang sedap.




8. Mulailah dengan anggota wudhu'yang sebelah kanan.




9. Ulangilah masing-masing sampai tiga kali (3X).




10. Ratakanlah air hingga membasahi seluruh anggota wudhu'




11. Ketika menyapu kepala, ratakan seluruhnya (letakkan ibu jari samping kiri dan kanan kepala, lalu putarlah telapak tangan dari depan ke belakang, kemudian kembali ke depan (cukup sekali).




12. Basuhlah telinga dengan memasukkan telunjuk ke lubang telinga, ibu jari dibelakang telinga.




13. Bila selesai berwudhu', hadapkan muka ke arah kiblat dan berdoalah dengan membaca:




Asyhadu an laa ilaaha illalaahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluh, Allahummaj'alnii minat tawwaa biinaa waj'alnii minal mutathahhiriin.




Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya allah , masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan jadikanlah aku masuk ke dalam golongan orang-orang yang suci.




14. Lakukanlah solat sunnat wudhu' dua raka'at.




Hal-hal yang Membatalkan Wudhu'




1. Keluar sesuatu dari "dua pintu" belakang seperti buang angin (kentut), buang air besar atau kecil, haid atau nifas, dan sebaganya.




2. Hilang akal (kerana sakit, mabuk, gila dan sebagainya) .




3. Bersetubuh.

posted by Rini | 3:38 PM

Saturday, August 12, 2006

Jujur (Shiddiq)
Shiddiq (jujur, benar) adalah lawan kaa dari kidzb (bohong atau dusta). Secara morfologi, akar kata shidq berasal dari kata shadaqa, yashduqu, shadqun, shidqun. Ungkapan shaddaqahu mengandung arti qabila qauluhu 'pembicarannya diterima'. Ungkapan shaddaqahu al-hadits mengandung arti anba'ahu bi al-shidq 'ia menyampaikan berita dengan benar dan jujur'. Ada orang mengatakan shadaqtu al-qauma, yang berarti qultu lahum shidqan 'aku katakan kepada mereka secara benar atau secara jujur'. Demikian juga ancaman jika aku sampaikan kepada mereka; aku katakan shadaqtu hum 'aku berkata benar kepada mereka'.




Beberapa ayat Allah yang memeberikan ilustrasi yang jelas tentang makna (shiddiq):




1. "Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang jujur (benar) tentang kebenaran mereka dan Dia menyediakan bagi orang-orang kafir siksa yang pedih." (al-Akhzab:8)




2. "... Dan ibunya (Maryam) adalah seorang yang sanga benar (shiddiq)..." (al-Maa'idah:75)




3. "Dan orang yang datang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (az-Zumar:33)




Imam al-Ghazali membagi sikap benar atau jujur (shiddiq) ke dalam enam jenis:




1. Jujur dalam lisan atau bertutur kata. Setiap orang harus dapat memelihara perkataannya. Kejujuran seperti ini hanya terjadi dalam menyampaikan berita atau pembicaraan yang mengandung berita. Menepati janji termasuk kategori kejujuran jenis ini. Bentuk jujur yang pertama ini merupakan bantuk yang paling terkenal dan fenomenal.




2. Jujur dalam berniat dan berkehendak. Kejujuran seperti ini mengacu kepada konsep ikhlas, yaitu tiada dorongan bagi seseorang dalam segala tindakan dan gerakannya selain dorongan karena Allah. Jika dicampuri dengan dorongan obsesi dari dalam jiwanya, maka batallah kebenaran niatnya. Orang yang seperti ini dapat dikatakan pembohong.

Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadist Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Muslim sebagai berikut:




"Ketika Rasulullah saw bertanya kepada seorang alim, 'Apa yang telah kamu kerjakan dari yang telah kamu ketahui?' Ia menjawab, 'Aku telah mengerjakan hal ini dan hal itu.' Lalu Allah berkata, 'Engkau telah berbohong karena kamu ingin dikatakan bahwa si Fulan orang alim."




3. Jujur dalam berobsesi atau bercita-cita (azam). Manusia terkadang mengemukakan obsesinya untuk melakukan sesuatu. Misalnya, "Jika Allah menganugerahkan banyak harta kepadaku, aku akan sedekahkan setengahnya." Janji atau obsesi ini harus diucapkan secara jujur.




4. Jujur dalam menepati obsesi. Dalam suatu kondisi, hati terkadang banyak mengumbar obsesi. Baginya mudah saat itu untuk mengumbar obsesi. Kemudian, saat kondisi realitas sudah memungkinkannya untuk menepati janji obsesinya itu, ia memungkirinya. Nafsu syahwatnya telah menghantam keinginannya untuk merealisasikan janjinya. Hal itu sungguh bertentangan dengan kejujuran (shiddiq).




5. Jujur dalam beramal atau bekerja.




6. Jujur dalam maqam-maqam beragama. Merupakan kejujuran paling tinggi. Contohnya adalah kejujuran dalam khauf (rasa takut akan siksaan Allah), raja' (mengharapkan rahmat Allah), ta'dzim (mengagungkan Allah), ridha (rela terhadap segala keputusan Allah), tawwakal (mempercayakan diri kepada Allah dalam segala totalitas urusan), dan hubb *mencintai Allah).




"Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar (beriman sejati)." (al-Hujaraat:15)




"Kalian harus jujur, karena jujur itu bersama-sama dengan kebaktian yang sempurna (birr). Keduanya akan berada di dalam surga. Dan hati-hatilah kalian dengan berbohong karena bohong itu bersama-sama perbuatan dosa yang terus-menerus (fujur). Keduanya akan masuk neraka. Dan mintalah kalian keyakinan dan perlindungan dari segala penyakit kepada Allah. Karena seseorang setelah diberi keyakinan akan lebih baik daripada diberi perlindungan dari segala penyakit. Dan janganlah kalian saling hasut, saling membenci, saling memutuskan (tali silaturahmi), saling memebenci, saling membelakangi, serta jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara sebagaimana Allah perintahkan kepada kalian." (HP Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Maajah)

Senin, 08 November 2010

nasehat islam

Kekhawatiran Nabi Muhamad Terhadap Umatnya




March 5th, 2010 in Akhlaq, Aqidah, Nasehat Ibadah | 1 Comment »




pemimpin dholimNabi muhammad adalah seorang pembawa risalah Alloh yang sangat mencintai umatnya. Sepanjang hidupnya ia dedikasikan untuk menyebarkan risalah Alloh kepada umat manusia, walau dihadapkan pada tantangan, cemoohan dan penderitaan.




Alloh SWT menggambarkan sifat dan perjuangan nabi Muhammad dalam QS Attaubah 128:




“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. 9:128)




Berangkat dari kecintaan beliau yang sangat besar terhadap umatnya, ia menginginkan umatnya senantiasa berada dalam keimanan agar selamat dunia dan akhirat. Untuk itulah, beliau memiliki beberapa kehawatiran yang tidak ingin terjadi kepada umatnya. Karena jika kekhawatiran ini terjadi, niscaya umat itu ada dalam kesesatan dan kecelakaan dunia dan akhirat.




Apa sajakah kekhawatiran nabi itu? Jawabannya adalah sebagai berikut:




#1. Pemimpin yang menyesatkan (Dholim)




Nabi sangat mengkhawatirkan jika umatnya dipimpin oleh pemimpin yang menyesatkan (dholim) . Kenapa? Karena seorang pemimpin adalah lokomotif yang menentukan arah suatu masyarakat. Baik buruknya tatanan masyarakat akan sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Islam melarang umatnya memilih musuh Alloh dan musuh orang beriman sebagai pemimpin baginya. Begitu pula orang yang tabiatnya lebih cenderung terhadap kekafiran daripada keimanan.

Nabi sangat mengkhawatirkan, jika umatnya dipimpin oleh pemimpin yang dholim (menyesatkan), maka umatnya akan rusak.




#2. Riya

Nabi berkata, “Yang paling aku takuti terjadi pada umatku, yakni umatku mampu beramal sholeh tetapi terjebak pada syirik kecil”, Shahabat bertanya, “Apa yang dimaksud dengan Syirik kecil itu?”, Nabi menjawab, “Riya”.




Riya adalah ketika seseorang beramal sholeh, ia ingin dilihat oleh manusia dan ingin mendapat pujian. Saat di akhirat kelak, Alloh menyuruh orang yang berbuat riya untuk minta pahala kepada yang di-riyai-nya. Alloh hanya menginginkan amal yang dilakukan seseorang semata-mata untuk mengharap ridho Alloh, bukan yang lainnya.




Sangatlah mudah mengindikasikan apakah perbuatan (ibadah) yang kita lakukan termasuk kategori riya atau tidak. Jika kita semakin bersemangat melakukan ibadah saat ada orang lain yang memuji, dan berhenti saat ada orang menghina, maka berhati-hatilah karena perbuatan itu termasuk kategori riya (manusia oriented). Adapun orang yang ikhlas, ia akan tetap istiqomah menjalankan ibadah, tanpa pengaruh pujian atau hinaan orang lain (Alloh oriented).




#3. Perzinahan

Saat ini, perzinahan telah merajalela di lingkungan sekitar kita, bahkan telah menjadi trend di kalangan generasi muda. Islam sangat melarang perbuatan zina, bahkan perbuatan yang mendekati perzinahanpun dilarang. Dalam pandangan Islam, perbuatan zina merupakan perbuatan keji, buruk dan merusak tatanan sosial.




#4. Munafik yang Pintar Ngomong

Kehadiran orang munafiq yang pintar ngomong sangatlah membahayakan. Ia memiliki kemampuan orasi yang meyakinkan sehingga orang takjub dan kagum terhadap apa yang ucapkannya, meskipun ucapan itu hanyalah hiasan bibir belaka. Alloh akan menempatkan orang munafiq di neraka paling dasar. Orang munafiq selalu dusta saat dia berbicara, menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafirannya. Kehadirannya dalam umat hampir tidak kelihatan karena ia bersembunyi dalam kekafiran.




#5. Kesesatan Hawa Nafsu

Nabi sangat takut jika umatnya berada dalam kesesatan hawa nafsu dan syahwat. Mereka cenderung mengikuti hawa nafsu baik perut maupun kemaluan. Satu satu faktor yang menyebabkan seseorang mengikuti hawa nafsu, ialah meninggalkan sholat.




#6. Lalai Meskipun Tahu

Adab yang paling keras akan ditimpakan Alloh kepada yang ‘alim tetapi tidak mengamalkan ilmunya.




#7. Percaya Dukun dan Mengingkari Takdir




Siapa orang yang datang ke orang pintar (dukun), bertanya sesuatu dan mengimani ucapannya, maka sholatnya selama 40 hari tidak diterima. Saat ini, banyak orang islam yang percaya dukun karena ingin naik pangkat, laris usahanya, dan lain sebagainya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam, sampai-sampai nabi mengkhawatirkan jika hal ini terjadi kepada umatnya.

isi tesis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang masalah
Lahirnya Undang – undang no 22 tahun 1999 yang direvisi dengan Undang – undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah membawa nuansa pembaharuan pada sistem pengelolaan pemerintahan, dari sistem sentralistik menjadi desentralistik. Pemberlakuan desentralistik ini memberi keleluasaan kepada pemimpin pemerintah daerah kabupaten/kota dalam mengeksplorasi visi tanpa dibatasi juknis dan juklak. Hal ini memberikan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah kabupaten/kota yang mempunyai kedudukan yang semakin kuat dalam menjalankan fungsi – fungsi kepemerintahannya, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Kewenangan yang dimiliki mencakup semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, petahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama. “secara operasional sesungguhnya desentralisasi memberikan banyak keuntungan bagi para pemimpin-pemimpin kreatif untuk mengembangkan lembaganya”(Aan Komariah dan Cepi Triatna,2006 : 70)
Salah satu bidang yang di desentralisasikan adalah pendidikan dalam sistem ini pemerintah daerah kabupaten/ kota memegang peranan yang penting dalam pengelolaan bidang pendidikan di daerahnya berfungsi sebagai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun pengendalian dan evaluasi. Desentralisasi dalam bidang pendidikan diharapkan dapat memperbaiki masalah pokok pendidikan, misalnya mutu, pemerataan, relevansi, efesiensi, dan manajemen dapat terpecahkan.
Jika sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat dengan paradigma top-down atau sentralistik, maka dengan berlakunya undang – undang otonomi daerah maka terjadi perubahan paradigma menjadi bottom-up atau desentalistik. Dalam hal pemberdayaan sekolah sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang berada di garis depan (line staff), yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan terkena akibat secara langsung, yakni guru dan kepala sekolah, sehingga perlu diterapkan manajemen sekolah yang dapat mengelola sekolah sesuai dengan prinsip otonomi.
Model yang paling tepat dalam hal otonomi pendidikan adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), melalui model ini sekolah memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan yang terkait langsung dengan aspirasi dan kebutuhan – kebutuhan sekolah. Sejalan dengan Nanang Fatah (2004 : 11) bahwa :”Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Sebagai terjemahan dari School Based Management, adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk me-redesain pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan kepada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kerja yang mencakup guru, siswa, orang tua siswa, dan masyarakat”.
Tujuan utama implementasi manajemen berbasis sekolah adalah meningkatkan efesiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efesiensi diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya yang ada, partisipasi masyarakat, dan penyederhanaan birokrasi. Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, keluwesan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme pendidik, adanya penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) sebagai kontrol.
Secara yuridis model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) tertuang dalam Undang – undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51 ayat 1 yang menyatakan : Pengelola satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip mamajemen berbasis sekolah/madrasah. Dalam skala nasional penerapan MBS dimulai tahun 1999, sejak dilaksanakannya Undang – undang nomor 22 dan 25 tentang otonomi daerah dan diikuti oleh penyempurnaan sistem pendidikan nasional, sedangkan implementasinya pada sekolah – sekolah dimulai pada tahun pelajaran 2003/2004.
Kepala sekolah merupakan pusat penggerak organisasi, yang dituntut mampu menggerakkan seluruh sumber daya yang tersedia agar dapat mewujudkan tujuan sekolah secara efektif dan efisien. Kepala sekolah bertanggungjawab atas penyelenggaraan kegiatan pendidikan, administrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan, tenaga pendidika, dan pendayagunaan sarana dan prasarana. Untuk dapat menjalankan fungsinya secara maksimal maka kepala sekolah harus memiliki keterampilan manajerial.
Keberhasilan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) juga ditunjang oleh komite sekolah yang merupakan komponen paket pelaksanaan MBS. Dengan MBS Unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktural yang selanjutnya disebut “komite sekolah”.Anggota dari komite sekolah terdiri dari : 1). Unsur masyarakat, seperti orang tua/wali peserta didik, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dunia usaha/industri, organisasi profesi tenaga kependidikan, wakil alumni dan wakil peserta didik. 2). Unsur dewan guru, yayasan/lembaga penyelenggara pendidikan, badan pertimbangan desa. Salah satu tujuan di bentuknya komite sekolah adalah untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dalam program pendidikan di satuan pendidikan (Kepmen Diknas Nomor : 004/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah). Dengan demikian komite sekolah adalah wakil dari seluruh unsur tersebut diatas.
Seperti yang telah dikemukan bahwa keberhasilan MBS tidak saja ditentukan oleh kepala sekolah, tetapi juga komite sekolah. Dalam memimpin kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dengan memperhatikan aspirasi pemangku kepentingan (stakeholders) disatuan pendidikan yang bersangkutan. Konsumen yang harus dilayani dan sangat berkepentingan adalah siswa dan orang tuanya. Jika komite sekolah berperan aktif dalam menyalurkan aspirasi siswa, orang tua dan masyarakat maka hasilnya akan sangat berkualitas. Tetapi kenyataannya masih ada kepala sekolah tidak melibatkan unsur – unsur yang ada, termasuk komite sekolah dalam mengambil keputusan. Kepemimpinan masih terpusat ditangan kepala sekolah, sehingga aspirasi stakeholders masih terabaikan. Hal ini akan berdampak pada sulitnya mendapat dukungan dari masyarakat, sebab jika masyarakat tidak dilibatkan dalam menentukan arah kebijakan sekolah, maka akan tidak ada “rasa memiliki” dari masyarakat yang pada gilirannya masyarakat tidak punya rasa tanggungjawab pada jalannya pendidikan.
Dengan penerapan MBS diharapka kinerja sekolah akan meningkat, akan tetapi fakta dilapangan menunjukkan hampir semua Sekolah Dasar di Kota Sibolga belum maksimal menerapkan MBS, hal tersebut disebabkan berbagai faktor, diantaranya model birokrasi yang telah begitu membekas pada pola perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang kaku dan tidak siap terhadap perubahan. Komite sekolah yang merupakan syarat diterapkannya MBS masih belum berperan secara optimal.
Atas dasar inilah penulis tertarik untuk meneliti secara ilmiah bagaimana kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah terhadap efektifitas implementasi manajemen berbasis sekolah, khususnya dikalangan sekolah Dasar (SD) Negeri yang ada di Kota Sibolga. Ada alasan mengapa tingkat SD yang penulis pilih, karena ada dua alasan, yaitu : Pertama, Sudah seluruhnya kepala sekolah SD Negeri di Kota Sibolga mendapatkan penataran tentang konsep dasar manajemen berbasis sekolah dan strategi implementasinya, baik yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP), maupun oleh dinas pendidikan Kota Sibolga. Kedua, komite Sekolah sudah terbentuk pada seluruh SD Negeri di Kota Sibolga sejak tahun 2002.
Melalui penataran – penataran yang dilengkapi dengan buku – buku tentang MBS tentu akan memberikan masukan pengetahuan dan menambah wawasan dalam arti penguasaan kepala sekolah tentang MBS yang pada saatnya akan mempengaruhi kemampuan manajerial kepala sekolah dalam mengimplementasikan MBS
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukan, maka perlu melakukan rumusan masalah yang berkenaan dengan kebijakan implementasi model MBS sebagai bentuk reformasi pengelolaan sekolah yang belum bisa dijalankan sebagaimana mestinya.
Rumusan masalah secara umum yaitu “Seberapa besar kontribusi kemampuan manejerial kepala sekolah dan komote sekolah terhadap efektifitas implementasi MBS ?”. Secara khusus rumusan masalah dijabarkan dalam pertanyaan penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana gambaran kemampuan manajerial kepala sekolah pada SD Negeri di Kota Sibolga ?
2. Bagaimana gambaran peran komite sekolah pada SD Negeri di Kota Sibolga ?
3. Bagaimana gambaran Efektivitas implementasi MBS pada SD Negeri di Kota Sibolga ?
4. Seberapa besar kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SD Negeri di Kota Sibolga ?
5. Seberapa besar kontribusi peran komite sekolah terhadap Efektivitas implementasi MBS pada SD negeri di Kota Sibolga ?
6. Seberapa besar kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap komite sekolah pada SD negeri di Kota Sibolga ?
7. Seberapa besar kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah secara bersama – sama terhadap Efektivitas implementasi MBS pada SD negeri di Kota Sibolga ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitin ini secara umum adalah untuk mengetahui gambaran yang objektif dan efektif tentang kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah terhadap Efektivitas implementasi MBS pada SD negeri di Kota Sibolga. Sedankan tujuan yang lebih khusus dari penelitian ini adalah untuk menganalisis tentang kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah terhadap Efektivitas implementasi MBS pada SD negeri di Kota Sibolga. Sehingga tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui gambaran kemampuan manejerial kepala sekolah pada SD Negeri di Kota Sibolga.
2. Untuk mengetahui gambaran peran komite sekolah pada SD Negeri di Kota Sibolga.
3. Untuk mengetahui gambaran Efektivitas implementasi MBS pada SD Negeri di Kota Sibolga.
4. Untuk menganalisa Seberapa besar kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS pada SD Negeri di Kota Sibolga.
5. Untuk menganalisa Seberapa besar kontribusi peran komite sekolah terhadap Efektivitas implementasi MBS pada SD negeri di Kota Sibolga.
6. Untuk menganalisa seberapa besar kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap komite sekolah pada SD negeri di Kota Sibolga.
7. Untuk menganalisa seberapa besar kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah secara bersama – sama terhadap Efektivitas implementasi MBS pada SD negeri di Kota Sibolga.
1.4 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak peneliti maupun bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan (secara akademik).
Secara lebih rinci penelitian ini dapat memberi bermanfaat sebagai beikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi pengembangan ilmu dan pengetahuan terutama yang berhubungan dengan kontribusi kemampuan mmanajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah terhadap efektivitas implementasi MBS.
b. Menjadikan bahan masukan untuk kepentingan pengembangan ilmu bagi pihak – pihak yang berkepentingan guna menjadikan penelitian lebih lanjut terhadap objek sejenis atau aspek lainnya yang belum tercakup dalam penelitian ini.
2. Manfaat praktis
a. Penelitian ini bermanfaat bagi kepala sekolah sebagai evaluasi atas kepemimpinannya ; apakah kemampuan manajerialnya yang selama ini dilakukan melalui proses yang demokratis atau hanya berdasarkan kehendak pribadi.
b. Komite Sekolah, agar lebih memahami peran dan fungsinya dalam mendukung sekolah serta mampu meningkatkannya sebagai mitra sekolah.
c. Para guru agar lebih berperan membantu kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik.
d. Para pejabat dilingkungan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama Kota Sibolga agar dapat lebih meningkatkan kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap penerapan manajemen berbasis sekolah pada seluruh satuan pendidikan yang ada di Kota Sibolga.















BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teoritis
2.1.1 Kemampuan manajerial kepala sekolah
2.1.1.1 Pengertian Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 707) Kemampuan adalah Kesanggupan, Kecakapan atau Kekuatan, sedangkan kata manajerial berhubungan dengan kata Manajer (2007 : 708) yang berarti orang yang berwenang dan bertanggungjawab membuat rencana, mengatur, memimpin dan mengendalikan pelaksaannya untuk mencapai sasaran. Sedangkan menurut kamus Bahasa Inggris (Jhon M. Echols, 1989 : 372), Manager berarti pengelola atau pemimpin usaha. Dengan demikian kemampuan manajerial kepala sekolah berarti kesanggupan, kecakapan atau kekuatan kepala sekolah sebagai pengelola/pemimpin sekolah yang berwenang dan bertanggungjawab dalam pembuatan rencana, mengatur, memimpin dan mengendalikan pelaksanaannya untuk mencapai tujuan sekolah.
Kemampuan manajerial kepala sekolah dapat juga diartikan sebagai suatu kompetensi (kemampuan) mengelola yang harus dimilki kepala sekolah yang berkaitan dengan tuntunan tugas dan pekerjaan mulai dari pembuatan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan.
Kepala sekolah dituntut memiliki kompetensi dasar yang disyaratkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 tahun 2003 tentang standar kepala sekolah/madrasah, salah satunya adalah kemampuan manajerial yang mencakup kemampuan kepala sekolah dalam : 1) menyusun Perencanaan, 2) Mengembangkan organisasi, 3) memimpin sekolah, 4) Mengelola perubahan dan pengembangan, 5) Menciptakan budaya dan iklim sekolah, 6) Mengelola guru dan staf, 7) Mengelola srana dan prasarana, 8) Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat, 9) Mengelola peserta didik, 10) Mengelola pengembangan kurikulum, 11) Mengelola keuangan, 12) Mengelola ketatausahaan, 13) Mengelola unit layanan khusus, 14) mengelola sistem informasi, 15)Memenfaatkan kemajuan tehnologi informasi, 16) melekuken monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program.
Kemampuan manajerial kepala sekolah adalah : kesanggupan, kecakapan, atau kekuatan kepala sekolah, baik pengetahuan teoritis, teknis dan keterampilan yang berkaitan dengan tuntutan tugas sebagai manajer mulai dari pembuatan keputusan, perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Sebagai pengelola atau pemimpin sekolah yang berwenang dan bertanggungjawab dalam pembuatan rencana, mengatur, memimpin dan mengendalikan pelaksanaannya untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien dengan mendayagunakan segala sumber daya yang tersedia.
2.1.1.2 Kepala Sekolah Sebagai Manajer Pendidikan
Manajemen pada dasarnya adalah mengurus, mengatur, melaksanakan, mengelola organisasi untuk mencapai tujuannya. Kepala sekolah sebagai manajer pendidikan dihadapkan pada berbagai tugas dan tanggungjawab. Secara ilmu atau pengetahuan, kepala sekolah harus memahami manajemen sebagai bekal kerja, Rohiat (2009 : 16) menyatakan bahwa manajer sekolah perlu memiliki pengetahuan yang memadai tentang manajemen pendidikan yang bermanfaat untuk :
1. Pegangan dalam melaksanakan manajemen sekolah.
2. Melahirkan kepercayaan diri bagi kepala sekolah dalam proses manajemen guna mencapai tujuan sekolah.
3. Memudahkan kepala sekolah dalam proses berfikir guna memecahkan permasalahan manajemen sekolah secara sistem.
4. Memotivasi kepala sekolah untuk mendapatkan dukungan dari staf sekolah dan menarik partisipasinya.
5. Selalu berfikir efektif dan efisien dalam mencapai tujuan.
6. Menetahui batasan – batasan wewenang dalam memanajemen dan memimpin sekolah.

Selanjutnya disebutkan “Kepala sekolah sebagai manajer menempati posisi yang telah ditentukan di dalam organisasi sekolah. Kepala sekolah mempunyai posisi puncak yang memegang kunci keberhasilan dalam mencapaitujuan yang telah ditentukan” (rohiat, 2009 : 33).
Sejalan dengan pendapat Mulyasa (2005 : 103) menyatakan : Dalam rangka melakukan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerjasama atau kooperatif, memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
Kepala sekolah bertanggungjawab atas jalannya berbagai lembaga sekolah dan kegiatannya, yakni : merencanakan, mengorganisasi, mengadakan staf, mengarahkan, mengkordinasikan, memantau serta menilai atau mengevaluasi. Agar kepala sekolah secara efektif melaksanakan tanggungjawabnya sebagai manajer, kepala sekolah harus memahami dan mampu mewujudkannya kedalam tindakan dan perilaku. Dengan demikian kepala sekolah sebagai manajer memerlukan keterampilan – keterampilan : “conceptual skill, human skill, and technical skill’.( gorton and Schneder,(1991);Sergiovanni, (1991 dalam Wahyudi, 2009 : 33).
Sementara Robert L. Kantz (Lipham : 1985, Hersey dan blanchard : 1982, Boles, 1983, krejiwsky, 1983) dalam Purwanto (2008: 91-97), mengemukakan beberapa keterampilan yang harus dimilki oleh seorang manajer dalam hal ini kepala sekolah, yaitu berupa (1) keterampilan konseptual (conseptual Skill); (2) keterampilan tehnis (technical skill); dan keterampilan kemanusiaan (human skill), keterampilan – keterampilan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Keterampilan konseptual
Keterampilan atau kemampuan memahami kompleksitas organisasi dan penyesuaian terhadap unit kerja masing – masing kedalam pelaksanaan pekerjaan secara menyeluruh. Kemampuan ini memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan tujuan organisasi secara menyeluruh daripada hanya atas dasar tujuan kebutuhan kelompoknya sendiri.
Keterampilan ini berkenaan dengan kemampuan dalam membuat keputusan dan melihat hubungan – hubungan penting dalam mencapai tujuan, rincian dari keterampilan kepala sekolah dalam manajerial, meliputi antara lain :
1) Mengidentifikasi karekteristik anggota.
2) Mengukur kemampuan guru.
3) Menetapkan prioritas.
4) Menanalisis lingkungan pendidikan.
5) Mendesain alternatif contingency.
6) Memonitor atau mengontrol aktivitas.
Ketrampilan konseptual berkenaan dengan kemampuan untuk memikirkan bagaimana efektivitas organisasi melalui penciptaan ide- ide kreatif dan inovaif yang dapat dilaksanakan bagi perkembangan organisasi, baik masa kini maupun dimasa yang akan datang.
Engkoswara (1992: 15) mengemukakan empat syarat pemimpin sebagai tim ketenagaan profesional, yaitu :”(1) wawasan pendidikan yang luas, (2) mampu berkomunikasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak, (3) mewujudkan kepemimpinan Pancasila, ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, dan tutwuri handayani, dan (4) memiliki pendidikan dan pengalaman kependidikan yang memadai.”
b. Keterampilan Teknis (Technical skill)
Keterampilan tehnis akan bersinggungan dengan keterampilan dan pengetahuan, yaitu berupa penggunaan metode, tehnik dan peralatan yang diperlukan untuk melaksanakan tugasctertentu yang diperoleh dari pengalaman pendidikan dan pelatihan. Keterampilan ini juga berkaitan dengan pengetahuan khusus yang diperlukan untuk mempormulasikan fungsi – fungsi pokok atau tugas – tugas yang berkenaan dengan posisi sebagai supervisor.
Jabatan kepala sekolah mempunyai peranan yang sangat erat kaitannya dengan keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Kepala sekolah tersebut dapat melaksanakan perannya dengan baik apabila kepala sekolah tersebut memiliki kemauan dan kemampuan dalam melaksanakan perannya. Begitu pula halnya dalam mewujudkan sekolah yang bermutu, akan sangat dipengaruhi oleh kualitas kepemimpinan kepala sekolah yang bersangkutan.
Aspek lain dari keterampilan tehnik seorang kepala sekolah adalah harus mengetahui dengan persis, kegiatan – kegiatan apa saja yang menguntungkan atau merugikan bagi sekolah. Pengetahuan teoritis dan praktis ditambah dengan pengalaman yang sangat esensial dalammpelaksanaan tugas kepala sekolah.
Ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan kepala sekolah yang didasarkan pada keterampilan teknis ini, yakni :
1) Menerapkan kriteria penyeleksian sumber – sumber pengajaran.
2) Menggunakan sistem observasi kelas.
3) Menganalisis data observasi kelas.
4) Menerapkan tujuan-tujuan pengajaran.
5) Mengelompokan tujuan-tujuan pengajaran.
6) Mengklasifikasikan temuan-temuan penelitian.
7) Menganalisis mata pelajaran.
8) Mengembangkan prosedur pengajaran.
9) Mengklasifikasikan tugas-tugas pengajaran.
10) Mendemontrasikan keterampilan pengajaran.
Dalam demensi yang lain, keterampilan dari kepala sekolah dapat dilihat dalam pengelolaan murid pembiayaan atau pengelolaan pembiayaan pendidikan dilevel sekolah. Kepala sekolah dalam urusan murid-murid tentang pelayanan informasi dan pencatatan data, dapat menunjuk guru yang menangani bimbingan konseling ataupun dilakukan oleh masing-masing wali kelas.
Untuk pengelolan sumbre pembiayaan dan sarana prasarana sekolah yang sudah dialokasikan dari pemerintah, kepala sekolah harus memiliki keterampilan untuk penggunaannya sesuai dengan perencanaan sekolah. Biasanya pengawasan tentang penggunaan sumber-sumber pembiayaan dan pembangunan fisik sekolah menunjukkan pertanggungjawaban kepala sekolah.
Proses pendidikan bukan hanya terjadi disekolah saja, tetapi juga terjadi di rumah dan masyarakat, namun sekolah berfungsi untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. Sekolah harus dapat memberikan iklim kondusif untuk mengembangkan proses kognitif seperti intelegensi, penalaran, kemampuam mental, kreativitas, imajinasi, pendalaman ingatan, pemecahan masalah, pembentukan konsep dan ketaqwaan.
c. Keterampilan manusiawi (human skill).
Keterampilan ini berkenaan dengan kemampuan kepala sekolah dalam bekerjasam dengan orang lain, memotivasi guru dan staf sekolah agar bersungguh-sungguh dalam bekerja. Kemampuan dalam mengorganisasikan elemen- elemen pendidikan, baik dalam lingkungan internal sekolah seperti hubungan dengan guru, staf administrasi, dan murid, maupun lingkingan eksternal sekolah seperti cara berkomunikasi dengan orang tua murid , komite sekolah, kalangan pengusaha, tokoh masyarakat dan tokoh agama dapat dikatakan sebagai inti dari keterampilan manusiawi dari seorang kepala sekolah dalam pengelolaan sekolah.
Secara umum pengelolaan itu dapat didefenisikan, sebagaimana dirumuskan oleh silver paula (1983 : 5), sebagai berikut : “the process of working with and through others to efficiently accomplish organizational goals”. Senada dengan rumusan tersebut, werther and david (1989: 6), mengemukakan bahwa “ pengelolaan sekolah mencakup aspek-aspek sebagai berikut : (1) expectations the what, (2) task the which, (3) methode the how”.
Pemaknaan rumusan tersebut diatas, dijelaskan secara sistematis dan kontektual sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Sanusi (1991: 119), bahwa “padanan pengelolaan pendidikan lebih dekat dengan administrasi pendidikan dari pada manajemen pendidikan”. Selanjutnya Engkoswara (1992: 126) merumuskan batasan bahwa :
Istilah manajemen disejajarkan dengan istilah pengelolaan, administrasi, pengaturan, atau penataan yang termasuk dalam administrasi pendidikan, yang artinya kemampuan dalam menata sumberdaya untuk mencapai tujuan pendidikan secara produktif

Jika dirinci, keterampilan hubungan kemanusiaan yang harus dimiliki kepala sekolah dalam peranannya sebagai pengorganisasian personel sekolah adalah sebagai beikut ;
1) Merespon perbedaan induvidual, 2) mendiagnosa kelebihan atau potensial individu, 3) Mengklasifikasi nilai, 4) Variasi persepsi, 5) Menentukan komitmen pekerjaan, 6) Memimpin diskusi, 7) mendengar, 8) Berkonfrensi, 9) Memimpin interaksi secara kooperatif, 10) memecahkan konflik, 11) Menstimulasi sikap kebersamaan dan memberi contoh

Dari sekian asfek yang dimiliki kepala sekolah, maka dapat dipandang bahwa asfek penting lainnya dari keterampilan manusiawi seorang kepala sekolah adalah terletak pada keterampilan manajerial personel. Keterampilan ini berkenaan dengan kemampuan membuat keputusan dan melihat hubungan- hubungan penting dalam mencapai tujuan, rincian dan keterampilan kepala sekolah.
Upaya untuk mewujudkan tugas-tugas diatas, peranan kepala sekolah dalam melakukan hubungan kemanusiaan didukung pula oleh kemampuan manajemen. Sehubungan dengan hal tersebut, Harold koozt dan crill O’Donnel yang dikutip oleh Miftah Thoha (1993: 225) menjelaskan bahwa :
Manajemen adalah suatu proses pencapaian tujuan organisasi lewat usaha orang lain, sedangkan kepemimpinan dapat terjadi setiap saat dan dimanapun asalkan ada seseorang yang berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau kelompok tanpa menidakkan bentuk alasannya.

Pendapat tentang kepemimpinan itu sejalan dengan apa yang telah dikemukakan oleh Hersey dan blanchard (1982: 83) bahwa: “Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan- kegiatan individu atau satu kelompok dalam usaha mencapai tujuan kedalam situasi yang dihadapi”.
Dalam hubungannya dengan keterampilan dalam melakukan hubungan kemanusiaan, maka ada beberapa proses yang harus dilakukan oleh kepala sekolah, sebagaimana dikemukakan oleh Winardi (1996: 51-52) yaitu :
a). Membuat keputusan – keputusan
b). Memusatkan perhatian mereka atas saran – saran
c). Merencanakan dan menyusun kebijaksanaan – kebijaksanaan
d). Mengorganisasikan dan menempatkan pekerja – pekerja / stad didalam jabatan – jabatan yang ada
e). Melaksanakan komunikasi dengan para bawahan, para kolega dan para supervisor mereka
f). Memimpin dan mensupervisi, dan
g). Mengawasi aktifitas – aktifitas

beranjak dari penjelasan di atas, maka peran kepala sekolah sebagai organisator personel sekolah, akan berjalan secara efektif manakala ditunjang oleh keterampilan hubungan kemanusiaan sebagaimana dijelaskan di atas.
Ketiga keterampilan tersebut perlu dimiliki oleh setiap pimpinan pada level administrasi atau manajemen apapun. Technical Skills berkenaan dengan know how dalam melaksanakan tugas sehari –hari, baik tehnis edukatif maupun administratif. Human skills berkenaan dengan kemampuan kerjasama dengan orang lain, pemberian motivasi kepada setiap individu dana menerapkan kepemimpinan efektif. Banyak dikalangan pimpinan atau manajer mengungkapkan bahwa keterampilan ini adalah yang terpenting dan dinilai lebih penting dari kecerdasan, pengetahuan, dan keterampilan jabatan. Sedangkan conceptional skills berkenaan dengan kemampuan untuk memikirkan bagaimana meningkatkan efektifitas organisasi melalui penciptaan ide – ide kreatif dan inovatif yang dapat dilaksanakan bagi perkembangan organisasi, baik masa kini dan masa yang akan datang.
Keseluruhan kemampuan dan keterampilan yang diuraikan di atas terakumulasi dalam suatu pengintegrasian tiga unsur, yakni : (a) keterampilan tehnis edukatif dan administratif dalam melaksanakan kegiatan pendidikan; (b) kepribadian yang luhur untuk dijadikan teladan bagi guru, anak didik dan masyarakat, dan (c) kemampuan akademik yang tangguh untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan melalui ide-ide kreatif dan inovatif.
2.1.1.3. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pendidikan
Peran kepala sekolah dalam pendidikan merupakan suatu jabatan profesi yang harus dijalankan secara professional. Suatu pekerjaan dapat disebut profesi apabila telah memenuhi berbagai kriteria yang mencerminkan keprofesionnya. Kriteria tersebut secara umum berlaku bagi semua profesi, tetapi yang membedakannya adalah esensi dari pekerjaan profesi itu.
Profesi mensyaratkan adanya keahlian yang diperoleh dari pendidikan dan latihan yang relatif lama di Perguruan Tinggi, adanya dedikasi dan tanggung jawab, rasa kesejawatan, kode etik dan penggunaan tehnik serta prosedur tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Volmer dan Mills yang dikutip oleh N.A Ametembun (1981 : 110) bahwa profesi memiliki tiga kategori, yaitu :
Kategori pertama : Memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas
Kategori kedua : Merupakan karier yang dibina secara organisatoris
Kategori ketiga : diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status professional.

Dari pendapat diatas, jelas bahwa profesi tidak dikerjakan oleh semua orang tetapi hanya bagi mereka yang memenuhi persyaratan atau kriteria di atas. Hal ini mengandung makna bahwa profesi merupakan pekerjaan yang telah mantap yang ditunjang oleh latar belakang pendidikan yang mencerminkan kemampuan professional, konseptual, organisasi dan pengakuan dari masyarakat. Selanjutnya Moore yang dikutip oleh Oteng Sutisna (1985 : 303-304) menyoroti profesi dari sudut pelaksanaannya, yaitu :
1. Seorang professional menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya.
2. Ia terikat oleh panggilan hidup dan dalam hal ini memperlakukan pekerjaannya sebagai norma kepatuhan perilaku.
3. Ia anggota organisasi professional yang formal
4. Ia menguasai pengetahuan yang berguna dan berketerampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang sangat khusus.
5. Ia memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali.

Kriteria di atas menunjukkan bahwa orang yang melaksanakan pekerjaan tersebut orang yang professional. Pandangan Moore di atas pada dasarnya sama dengan apa yang dikemukakan oleh Volmer dan Mills, yaitu kriteria yang digunakan bila suatu pekerjaan disebut profesi adalah pekerjaan itu mengacu pada keahlian, tanggung jawab, dedikasi dan kesejawatan.
Sejalan dengan pendapat di atas, Wahjosumidjo (2000 : 1280) mengemukakan bahwa :
Sesuatu pekerjaan itu (an occupation) dapat disebut profesi apabila pekerjaan itu sendiri mencerminkan adanya dukungan berupa :
a. Ciri – ciri pengetahuan (intellectual character).
b. Diabadikan untuk kepentingan orang lain
c. Keberhasilan pekerjaan tersebut bukan di dasarkan pada keuntungan finansial.
d. Didukung oleh adanya organisasi profesi dan organisasi tersebut antara lain menentukan berbagai ketentuan yang merupakan kode etik serta bertanggung jawab dalam memajukan dan menyebarkan profesi yang bersangkutan.
e. Ditentukan adanya standar kualifikasi modern.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa suatu pekerjaan yang disebut professional memerlukan kriteria khusus yang harus dipenuhi oleh orang yang menginginkannya sesuai dengan bidang kajian yang ditekuninya. Begitu pula halnya dengan kepala sekolah yang merupakan manajer sekaligus pemimpin di sekolah.
Dalam profesi kependidikan, kepala sekolah dipandang sebagai tokoh utama di sekolahnya. Ia adalah penggerak utama di lembaga dan masyarakat sekitarnya. Sebagai seorang kepala sekolah, ia diserahi sejumlah tugas dan tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan. Untuk dapat melaksanakan tugasnya dan tanggung jawab tersebut, ia harus dapat memahami dan menghayatinya secara jelas. Sebab kalau tidak dipahami dengan jelas, dapat menyulitkan kedudukannya sebagai pemimpin sekolah. Mengenai tugas dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan kepala sekolah secara khusus, Oteng Sutisna (1985 : 39) merinci secara khusus dalam bidang tugas pokok dari pola kompetensi administrasi pendidikan, yaitu :
a). Pengajaran dan kurikulum
b). Murid,
c). Kepemimpinan masyarakat sekolah
d). Personil sekolah,
e). Gedung Sekolah
f). Angkutan sekolah
g). Organisasi dan struktur
h). Keuangan, dan
i). Tata usaha

Selain tugas – tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan seperti yang dikemukakan diatas, kepala sekolah juga dihadapkan pada tantangan – tantangan atau perubahan – perubahan yang terjadi di masyarakat dan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi sebagai dampak dari kemajuan zaman dan globalisasi. Kepala sekolah harus peka dan tanggap terhadap perubahan – perubahan, pembaharuan – pembaharuan dan perkembangan yang terjadi khususnya dalam bidang pendidikan serta perkembangan yang terjadi khususnya dalam bidang pendidikan serta perkembangan masyarakat pada umumnya. Dunia ilmu pengetahuan dan tehnologi (IPTEK) terus berkembang seirama dengan perkembangan zaman dan tak pernah berhenti, tetapi selalu muncul hal-hal yang baru. Kepala sekolah harus mengikuti perkembangan tersebut sehingga lebih dahulu mengetahui daripada para guru, peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Disinilah letaknya perkembangan dan tanggung jawab kepala sekolah terhadap profesinya.
Salah satu peran esensial kepala sekolah adalah fungsinya sebagai pemimpin pendidikan atau pemimpin sekolah. Sebagai pemimpin tunggal sekolah, kepala sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengajar dan mempengaruhi semua pihak yang terlibat dengan kegiatan sekolah untuk tetap bekerjasama mencapai tujuan sekolah yang diharapkan, sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-masing. Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah merupakan´”benang merah” yang mengikat dan mengarahkan semua kegiatan personil yang ada di sekolah untuk bekerjasama optimal dalam pekerjaannya masing-masing, tetapi harus selalu terkait dengan upaya pencapaian tujuan sekolah secara keseluruhan sesuai dengan target yang ditetapkan bersama.
Pemimpin sekolah adalah orang yang mempunyai posisi kepemimpinan yang penting.pemimpin sekolah memiliki wewenang atau hak legitimasi untuk memberi perintah atas dasar kekuasaan yang sah dari suatu badan resmi. Akan tetapi dalam hal ini tidak menjamin bahwa pimpinan sekolah adalah seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah orang yang secara sukarela diberi kekuasaannya yang penuh oleh anggota kelompok yang menerima pengaruh dan perintah dari pimpinan atas dasar kesepakatan. Organisasi yang kompleks seperti sekolah, tidak mungkin dan tidak diharapkan hanya ada seorang pemimpin atau hanya seorang yang menunjukkan kepemimpinan. Sebagian besar staf atau kepala sekolah di sekolah dianggap professional karena telah terlatih dan berpengalaman, maka semua kepala sekolah harus menunjukkan kualitas kepemimpinan mereka pada tingkat yang berbeda. Pemimpin sekolah mempunyai posisi menentukan dan menetapkan struktur organisasi sekolah serta meyakinkan bahwa struktur tersebut membantu dalam pencapaian atau tercapainya misi,maksud dan tujuan organisasi.
Aspek yang penting dari tugas pemimpin sekolah adalah melaksanakan kepemimpinan pendidikan untuk seluruh sekolah. Kepemimpinan pendidikan harus menunjukkan suatu keinginan mengalokasikan waktu yang tepat untuk mengatasi permasalahan yang terjadi. Posisi pemimpin sekolah sangat penting namun banyak orang yang harus terlibat dalam kepemimpinan di sekolah, sifat dan fungsi kepemimpinan mereka sangat tergantung pada bagaimana cara pemimpin sekolah mendelegasikan tanggung jawabnya.
Lebih lanjut Hadari Nawawi (1992:54) mengemukakan pandangannya: Sedangkan fungsi kepemimpinan kepala sekolah dalam bidang pengajaran di sekolah meliputi : Menentukan tujuan sekolah, mengembangkan memacu harapan siswa untuk mencapai keberhasilan, menentukan dan memacu standar akademi yang tinggi, menilai dan memonitor penempatan siswa, mempertahankan bobot waktu jam pengajaran, mensyaratkan adanya pengetahuan kurikuler dan penyampaiannya yang berbobot, mengkoordinasikan kurikulum, memacu dan membantu perbaikan pengajaran, mengadakan supervisi dan evaluasi terhadap pengajaran, dan menciptakan lingkungan dan iklim kerja yang produktif.

Beberapa kemampuan professional khusus seorang kepala sekolah untuk melaksanakan fungsi pemimpin sekolah yang efektif adalah dalam hal:
a) Menganalisis motivasi dan kebutuhan staf dalam pekerjaannya.
b) Menciptakan lingkungan kerja kondusif bagi peningkatan prestasi staf.
c) Mengambil keputusan yang efektif
d) Menganalisis masalah secara akurat, baik yang bersifat tugas rutin maupun pengembangan organisasi.
e) Mempengaruhi staf secara professional atau kolegial.
f) Mengikutsertakan staf dalam proses pengambilan keputusan organisasi.
g) Menjabarkan kebijakan atasan dan mengkomunikasikannya secara tepat kepada staf.
h) Berkomunikasi secara formal dan informal secara intensif dan kondusif .
i) Memberi kesempatan kepada staf untuk melaksanakan tugas pimpinan sesuai dengan keutuhan organisasi
Kementrian Pendidikan (Dulu: Depdiknas) telah menetapkan bahwa kepala sekolah harus mampu melaksanakan pekerjaannya sebagai edukator, manajer, administrator, dan supervisor. Dalam perkembangan selanjutnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman, kepala sekolah juga harus mampu berperan sebagai leader, innovator, dan motivator di sekolahnya. Dengan demikian dalam paradigma baru manajemen pendidikan, kepala sekolah sedikitnya harus mampu berfungsi sebagai edukator, Manajer, Administrator, Supervisor, Leader, Inovator, Motivator (EMASLIM), (Mulyasa,2006:97). Gambaran lebih lanjut dapat ditinjau sebagai berikut :
a. Peran dan fungsi kepala sekolah sebagai Edukator (pendidik). Dalam melakukan fungsinya sebagai edukator, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik, seperti team teaching, moving class, dan mengadakan program akselerasi (acceleration) bagi peserta didik yang cerdas diatas normal.
b. Peran dan fungsi kepala sekolah sebagai Manajer Pendidikan.Manajemen pada hakekatnya merupakan suatu proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, memimpin dan mengendalikan usaha para anggota organisasi serta mendayagunakan seluruh sumber-sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dikatakan suatu proses, karena semua manajer dengan ketangkasan dan keterampilan yang dimilikinya mengusahakan dan mendayagunakan berbagai kegiatan yang saling berkaitan untuk mencapai tujuan.
c. Peran dan fungsi kepala sekolah sebagai Administrator Pendidikan. Kepala sekolah sebagai administrator memiliki hubungan yang sangat erat dengan berbagai aktivitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan, dan pendokumenan seluruh program sekolah. Secara spesifik, kepala sekolah harus memiliki kemampuan untuk mengelola kurikulum, mengelola administrasi peserta didik, mengelola administrasi personalia, mengelola administrasi sarana prasarana, mengelola administrasi keuangan. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara efektif dan efisien agar dapat menunjang produktivitas sekolah.
d. Peran dan fungsi sekolah sebagai supervisor pendidikan. Kegiatan utama pendidikan di sekolah dalam rangka mewujudkan tujuannya adalah kegiatan pembelajaran, sehingga seluruh aktivitas organisasi bermuara pada pencapaian efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Oleh karena itu, salah satu tugas kepala sekolah adalah sebagai supervisor, yaitu mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan.
e. Peran dan fungsi kepala sekolah sebagai Leader. Kepala sekolah sebagai leader harus mampu memberikan petunjuk dan pengawasan, meningkatkan kemauan tenaga kependidikan, membuka komunikasi dua arah dan mendelegasikan tugas. Wahjosumidjo (2000:110) mengemukakan bahwa “Kepala sekolah sebagai leader harus memiliki karakteristik khusus yang mencakup kepribadian, keahlian dasar, pengalaman dan pengetahuan
2.1.2 Komite sekolah
2.1.2.1. Pengertian Komite sekolah
Sesuai dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan jalur sekolah semangkin meningkat, maka persatuan orang tua murid dan guru (PMOG) pada awal tahun 1974 di bubarkan dan dibentuk suatu badan yaitu Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Dalam perkembangan selanjutnya dengan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah, maka dibentuklah komite sekolah.
Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan baik dari jalur pendidikan prasekolah, jalur pendidikan sekolah maupun pendidikan luar sekolah.
Berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah tanggal 02 april 2002, maka pengertian dan nama komite sekolah adalah sebagai berikut :
a) Komite sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efesiensi penelolaan pendidikan di satuan pendidikan.
b) Nama komite sekolah disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan.
c) BP3, Komite sekolah dan atau majelis yang sudah ada dapat memperluas fungsi, peran, dan keanggotaan sesuai dengan acuan.

Seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat terhadap kualitas pelayanan dan hasil pendidikan yang diberikan oleh sekolah, dan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional melalui upaya peningkatan mutu, pemerataan, dan efesiensi penyelenggaraan pendidikan, dan tercapainya demokratisasi pendidikan, perlu adanya dukungan dan peran serta masyarakat untuk bersinergi dalam suatu wadah yang lebih sekedar lembaga pengumpul dana pendidikan dari orang tua siswa.
Kondisi nyata tersebut dalam memasuki era manajemen berbasis sekolah sekolah perlu di benahi selaras dengan tuntutan perubahan yang dilandasi kesepakatan, komitmen, kesadaran dan kesiapan membangun budaya baru dan profesionalisme dalam mewujudkan “ masyrakat sekolah” yang memiliki loyalitas pada peningkatan mutu sekolah. Untuk terciptanya suatu masyarakat sekolah yang kompak dan sinergis, maka komite sekolah merupakan bentuk atau wujud kebersamaan yang dibangun melalui kesepakatan ( surat Keputusan Mendiknas Nomor :044/U/2002)
Komite sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satu satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu komplek yang sama. Nama komite sekolah adalah satu nama yang generik. Artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti komite sekolah, komite pendidikan, komite pendidikan luar sekolah, dewan sekolah, majelis sekolah, majelis madrasah, komite TK, atau nama lain yang disepakati. Dengan demikian, organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran, keanggotaan sesuai dengan panduan atau melebur menjadi organisasi baru, yang bernama komite sekolah ( surat Keputusan Mendiknas Nomor :044/U/2002). Peleburan BP3 atau bentuk-bentuk organisasi lain yang ada di sekolah kewenangannya berkembang sesuai kebutuhan dalam wadah komite sekolah.
Pembentukan komite sekolah menjadi lebih kuat dari asfek legilitasnya, karena telah dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 56 sebagai berikut :
1) Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah; 2) Dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis; 3) Komite sekolah sebagai lembaga mandiri, dibentuk dan berperan dalampeningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberi pertimbangan arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan; 4) ketentuan mengenai pembentukan dewan pendidikan dan komite sekolah sebagai dimaksud dalam ayat (1) , (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Komite sekolah merupakan badan ang bersifat mandiri, tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan satuan pendidikan maupun lembaga pemerintah lainnya, Posisi komite sekolah, satuan pendidikan, dan lembaga- lembaga pemerintah lainnya mengacu pada kewenangan masing- masing berdasarkan ketentuan yang berlaku.
2.1.2.2. Kedudukan Komite sekolah
Komite sekolah yang ada pada Sekolah Dasar di Kota Sibolga berkedudukan di satuan pendidikan, selain itu terdapat komite sekolah yang tersebar pada satuan pendidikan dalam berbagai jenjang, jenis, dan jalur pendidikan ada sekolah tunggal dan ada sekolah yang berada dalam satu kompleks. Ada sekolah Negeri dan ada sekolah swasta yang didirikan ole yayasan penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, maka komite sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut:
Pertama, komite sekolah yang dibentuk dalam satuan pendidikan. Satuan pendidikan yang jumlah siswanya banyak, atau sekolah khusus seperti sekolah luar biasa, termasuk dalam katagori yang dapat membentuk komite sekolah sendiri.
Kedua, komite sekolah yang di bentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang sejenis. Sebagai misal, beberapa Sd yang terletak didalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan dapat membentuk satu komite sekolah.
Ketiga, komite sekolh yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang dan terletak didalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan. Sebagai misal, ada stu kompleks pendidikan yang terdiri dari satuan pendidikan TK, SD, SLTP, SLTA dan SMK dapat membentuk satu komite sekolah.
Keempat, komite sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjeng pendidikan atau dalam pembinaan satu yayasan penyelenggara pendidikan, misalnya sekolah- sekolah dibawah lembaga pendidikan Muhammadiyah, Al-washliyah, Al-ittihadiyah, taman siswa, sekolah katolik, sekolah kristen dan sebagainya.
2.1.2.3 . Tujuan Komite sekolah
Dibentuknya komite sekolah dimaksudkan agar adanya wadah organisasi masyarakat sekolah yang mempunyai komitmen dan loyalitas serta peduli terhadap peningkatan kualitas sekolah. Komite sekolah yang dibentuk dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya , demografis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat. Oleh karena itu komite sekolah yang dibangun harus merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, komite sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada penggunaan (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy) dan kemitraan (patnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan.
Menurut SK Mendiknas Nomor 044/U/2002, adapun tujuan dibentuknya komite sekolah sebagai suatu organisasi masyarakat sekolah adalah sebagai berikut:
1) Mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan disatuan pendidikan
2) Meningkatkan tanggungjawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
3) Menciptakan suasana dan kondisi transparan, akuntabel, dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan.

Komite sekolah ang dibentuk setiap ditempat dan wilayah dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya, demokrafis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang di bangun sesuai dengan potensi masyarakat setempat. Oleh sebab itu komite sekolah harus merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat kolektif. Artinya, sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada penggunaan (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy) dan kemitraan (patnership model) yang difokuskan pada peningkatan kualitas pelayanan peserta didik.
2.1.2.4. Peran dan Fungsi Komite sekolah
Peran dan fungsi komite sekolah adalah landasan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasinya. Komite sekolah memiliki peran sebagai mitra kerja lembaga pendidikan (sekolah), diantaranya adalah sebagai penasehat sekolah, pendudukung sekolah, pengontrol/pemantau, sebagai penghubung dengan stakeholders pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional (2004: 23) merinci peran komite sekolah adalah:
a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b. Pendukung layanan pendidikan (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan satuan pendidikan.
c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka tranparansi dan akuntabelitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d. Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Disamping itu pula Departemen Pendidikan Nasional (2004:24) menegaskan Komite Sekolah memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b. Melakukan kerja sama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
c. Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
d. Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai :
1) Kebujakan dan program pendidikan.
2) Rencana Anggran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
3) Kriteria kinerja satuan pendidikan.
4) Kriteria tenaga pendidikan.
5) Kriteria fasilitas pendidikan.
6) Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
e. Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalan pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f. Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan disatuan pendidikan
g. Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan, dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
Beranjak dari pandangan diatas, peran dan fungsi komite sekolah akan menjadi suatu wadah yang mewadahi kemitraan antara sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya koordinasi atau kerjasama sekolah dengan masyarakat merupakan salah satu pendukung keberhasilan penyelenggaraan konsep manajemen berbasis sekolah. Upaya untuk meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orang tua dan masyarakat, menciptakan suasna kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma MBS mengandung makna sebagai manajemen partisipasif yang melibatkan partisipasi masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama.
2.1.2.5. Wewenang dan kegiatan pokok Komite sekolah
A. Wewenang Komite Sekolah
Dalam Nanang Fattah (2004: 160) dinyatakan bahwa komite sekolah mempunyai wewenang sebagai berikut :
1. Menetapkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga komite sekolah.
2. Bersama-sama sekolah menetapkan rencana setrategi pengembangan sekolah
3. Bersama-sama sekolah menetapkan standar pelayanan sekolah.
4. Bersama-sama sekolah membahas bentuk kesejahteraan personil sekolah.
5. Bersama-sama sekolah menetapkan RAPBS
6. Mengkaji pertanggungjawaban program sekolah
7. Mengkaji dan menilai kinerja sekolah
8. Merekomendasikan kepada sekolah atau guru yang berprestasi dan memenuhi persyaratan profesionalisme serta administratif secara normatif sesuai dengan landasan hukum untuk promosi dan diajukan kepada pihak berwenang, dalam hal ini kepala Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.
9. Menerima kepala sekolah dan guru yang dipromosikan oleh sekolah lain sesuai denga persyaratan profesionalisme serta administratif secara normatif sesuai denga landasan hukum untuk dipromosikan dan ditunjuk oleh pihak yang berwenang.
10. Merekomendasikan kepada sekolah atau guru yang melanggar etika profesionalisme serta administratif secara normatif sesuai dengan landasan hukum yang berlaku dan diajukan kepada pihak yang berwenang, dalam hal ini kepala kantor Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten.
B. Kegiatan Pokok Komite Sekolah
Selanjutnya Nanang Fattah (2004;161-162) menyatakan bahwa komite sekolah mempunyai kegiatan pokok sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan rapat-rapat komite sesuai dengan program yang telah ditetapkan.
2) Bersama-sama sekolah merumuskan dan menetapkan Visi dan Misi sekolah.
3) Bersama sekolah menyusun standar pelayanan pembelajaran disekolah.
4) Bersama-sama sekolah menyusun rencana strategik pengembangan sekolah.
5) Bersama-sama sekolah menyusun dan menetapkan rencana program tahunan sekolah termasuk RAPBS.
6) Membahas dan turut menetapkan pemberian tambahan kesejahteraan berupa uang honororium yang diperoleh dari masyarakat kepada sekolah, tenaga guru dan tenaga administratif sekolah.
7) Bersama-sama sekolah mengembangkan potensi unggulan, baik yang bersifat akademis maupun non akademis.
8) Menghimpun dan menggali sumber dana dari masyarakat untuk meningkatkan kualotas pelayanan sekolah.
9) Mengelola kontribusi masyarakat berupa uang yang diberikan kepada sekolah.
10) Mengelola kontribusi masyarakat yang berupa non material (tenaga, pikiran) yang diberikan kepada sekolah.
11) Mengevaluasi program sekolah secara profesional sesuai dengan kesepakatan pihak sekolah, meliputi ; pengawasan penggunaan sarana dan prasarana sekolah, pengawas keuangan secara berkala dan berkesinambungan.
12) Mengidentifikasi berbagai permasalahan dan memecahkannya bersama-sama dengan pihak sekolah.
13) Memberikan respon terhadap kurikulum yang dikembangkan secara standar nasional maupun lokal.
14) Memberikan motivasi dan penghargaan kepada tenaga pendidik dan kependidikan
15) Memberikan otonomi secara profesional kepada guru mata pelajaran dalam melaksanakan tugas-tugas kependidkannya sesuai dengan kaidah dan kopetensi guru.
16) Membangun jaringan kerjasama dengan pihak luar sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan proses dan hasil pendidikan di sekolah.
17) Memantau kualitas proses pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah.
18) Mengkaji laporan pertanggungjawaban pelaksanaan program yang dikonsultasikan oleh kepala sekolah.
19) Menyampaikan usul atau rekomendasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah.
2.1.2.6. Eksestensi Komite sekolah Pasca Diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 dan 48 Tahun 2008.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, maka semua pihak perlu membaca secara komprehensif dan menyeluruh atas pasal-pasal yang tertuang dalam memahami kehadiran kedua Peraturan Pemerintah (PP) tersebut agar tidak lagi terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya, seperti ungkapan yang kurang tepat dari hampir semua pemimpin dari mulai gubernur hingga kepala kantor kementerian pendidikan kabupaten/kota dengan mengkampanyekan slogan pendidikan gratis yang melahirkan kebijakan “ dilarang melakukan pungutan sepeserpun dari orang tua murid dengan dalih apapun” dengan dalil Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar, Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”.
Melihat fenomena ini kita perlu memperhatikan pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 yang menyatakan, ketentuan mengenai investasi dan biaya operasional diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pendidikan. Selanjutnya, Pasal 11 ayat (2) menegaskan,”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya pendidik, tenaga kependidikan, dan biaya operasi untuk setiap satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar dengan pembagian beban tanggungjawab sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pendidikan”.
Perataran Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 pasal 9 sudah menjelaskan tidak boleh memungut biaya. Akan tetapi bukan berarti ruang partisipasi masyarakat ditutup. Aturan pembiayaan pendidikan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pasal 51 ayat (1) menyatakan” Pendanaan Pendidikan bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat”, selanjutnya dijelaskan dalam ayat (4) menyatakan’ Dana Pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat bersumber dari: a. anggaran pemerintah; b. bantuan pemerintah daerah; c. pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan; d. bantuan dari pemangku kepentingan satuan pendidikan diluar peserta didik atau orangtua/walinya; e. bantuan dari pihak asing yang tidak mengikat; dan atau f. sumber lainnya yang sah.
Selanjutnya dalam pasal 13 peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 selengkapnya menyatakan “(1) masyarakat berhak: a. berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan porgram wajib belajar, serta b. mendapat data dan informasi tentang penyelenggaraan program wajib belajar. (2) Nasyarakat berkewajiban mendukung penyelenggaraan Program wajib belajar. (3) Hak dan Kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian pasca lahirnya PP 47/2008 tentang wajib belajar dan PP 48/2008 tentang pendanaan pendidikan, maka komite sekolah sebagai badan yang mewadwhi partisipasi masyarakat sangat diharapkan berperan sebagai pendukung baik yang berwujud finansial, pemkiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidkan di satuan pendidkan. Disamping itu juga komite sekolah berperan sebagai pengontrol dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, serta sebagai mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
Untuk menjalankan perannya itu, komite sekolah memiliki fungsi yaitu mendorong tumbuhnya perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggara pendidikan bermutu. Badan itu juga melekukan kerjasama dengan masyarakat, baik perorangan maupun organisasi, dunia usaha dan industri dan pemerintah, berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Fungsi lainnya adalah menampung dan menganalisis aspirasi, pandangan, tuntutan, dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
Disamping itu, komite sekolah memberikan masukan dan pertimbangan kepada satuan pendidikan mengenai kebijakan dari program pendidikan; kreteria kinerja satuan pendidikan; kriteria tenaga kependidikan, khususnya guru dan dan kepala satuan pendidikan; kriteria fasilitas pendidikan; dan hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan. Komite sekolah juga berfungsi dalam mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan dan menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
2.1.2.7. Komite sekolah dan Partisipasi Masyarakat
Keterbatasan Pemerintah dalam pengadaan sarana dan prasarana, serta pembiayaan pendidikan menyebabkan dukungan serta partisipasi masyarakat menjadi penting, terutama masyarakat yang terkait langsung dengan sekolah yang bersangkutan. Pendidikan sebagai lembaga sosial akan semakin lancar dan berhasil melaksanaka tugasnya, serta memperoleh simpati dari masyarakat, jika dapat menjalin hubungan yang harmonis dan serasi dengan segenap masyarakat dan lingkungan, melalui manajemen pengembang hubungan sekolah dengan masyarakat.
Hubungan sekolah dan masyarakat pada hakekatnya merupakan sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Dalam hal ini, sekolah sebagai sistem sosial merupakan bagian integral dari sistem sosial yang lebih besar, yaitu masyarakat. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan effisien. Sebaliknya sekolah juga harus menunjang pencapaian tujuan atau pemenuhan kebutuhan masyarakat , khususnya kebutuhan pendidikan. Oleh karena itu, sekoalh berkewajiban memberikan penerangan tentang tujuan-tujuan, program-program, kebutuhan serta keadaan sekolah. Sebaliknya, sekolah juga harus mengetahui dengan jelas apa kebutuhan, harapan, dan tuntutan masyarakat harus dibina dan dikembangkan suatu hubungan yang harmonis.
Menumbuhkan partisipasi masyarakat dan lingkungan sekitar sekolah ini semakin dirasakan pentingnya pada masyarakat yang telah menyadari dan memahami pentingnya pendidikan. Namu tidak berarti pada masyarakat yang masih kurang menyadari pentingnya pendidikan, hubungan kerjasama ini tidak perlu dibina dan dikembangkan. Pada masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan, sekolah dituntut lebih aktif dan kreatif untuk mengembangkan hubungan kerjasama yang lebih harmonis.
Hubungan sekolah dengan masyarakat brjalan dengan baik, rasa tanggungjawab dan partisifasi masyarakat untuk memajukan sekolah juga baik dan tinggi. Agar tercipta hubungan dan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat, perlu adanya upaya sekolah menyampaikan gambaran yang jelas tentang keadaan sekolah, yang diinformasikan kepada sekolah melalui laporan lisan dan tulisan, dapat berupa laporan kepada orang tua murid dan masyarakat, dengan media buletin bulanan, penerbitan surat kabar, siaran radio dan televisi, pameran sekolah, open house, kunjungan kerumah murid dan lain-lain.
Selanjutnya, mengembangkan partisipasi masyarakat dan lingkungan sekitar sekolah , kepala sekolah dan guru merupakan kunci keberhasilan, yang menaruh perhatian terhadap apa yang terjadi pada peserta didik disekolah dan apa yang dipikirkan orang tua dan masyarakat tentang sekolah. Kepala sekolah dituntut senantiasa berusaha membina dan mengembangkan hubungan kerjasama yang baik antara sekolah dan masyarakat guna mewujudkan sekolah yang efektif dan efisien. Hubungan yang harmonis ini akan membentuk 1) saling pengertian antara sekolah, orangtua, masyarakat, dan lembaga-lembaga lain yang ada pada masyarakat, termasuk dunia kerja; 2) saling membantu antara sekolah dan masyarakat karena mengetahui manfaat, arti pentingnya peran masing-masing; 3) kerjasama yang erat antara sekolah dengan berbagai pihak yang ada di masyarakat akan menjadikan mereka merasa bangga dan ikut bertanggungjawab atas suksesnya pendidikan disekolah.
Partisipasi masyarakat mengacu pada adanya keikut sertaan masyarakat secara nyata dalam suatu kegiatan. Partisipasi ini dapat berupa gagasan, kritik membangun, dukungan dan pelaksanaan pendidikan. Dalam sistem pemerintahan yang berkebijakannya barsifat top-down, partisipasi masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan tidak begitu dipermasalahkan, namun pada sistem pemerintahan yang bottom-up , tingginya partisipasi masyarakat dapat dijadiakn tolak ukur keberhasilan kebijakan tersebut.
Koentjaraningrat dalam Mulyasa, (2004:17) menggolongkan partisipasi masyarakat kedalam tipologinya, ialah”Partisipasi kuantitatif menunjuk kepada frekuensi keikutsertaan masyarakat terhadap implementasi kebijakan, sedangkan partisipasi kualitatif menunjuk pada tingkat dan derajatnya”. Partisipasi masyarakat juga dapat dikelompokkan berdasarkan posisi individu dalam kelompoknya. Pertama, partisipasi masyarakat dalam aktifitas bersama dalam proyek khusus. Kedua, partisipasi anggota masyarakat sebagai individu dalam aktivitas bersama pembangunan.
Partisipasi masyarakat juga dapat dilihat dari cakupannya. Partisipasi secara luas diartikan sebagai demokratisasi politik, di dalamnya masyarakat menentukan tjuan, strategi dan perwakilan dalam pelaksanaannya, kebijakan dan pembangunan. Secara sempit partisipasi dapat diartikan sebagai keterlibatan masyarakat dalam keseluruhan perubahan dan pengembangan masyarakat sesuai dengan arti pembangunan sendiri.
Sisten desentralisasi dan demokrasi pendidikan, partisipasi masyarakat sangat di perlukan. Masyarakat harus menjadi patrner sekolah dalam melaksanakan pendidikan dan pembelajaran, karena kerjasama antara keduanya sangat penting dalam membentuk pribadi peserta didik. Dalam susanan yang demikian, sekolah memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai partner masyarakat, sekolah akan dipengaruhi oleh corak pengalaman seseorang dalam lingkungan masyarakat, bahan bacaan, tontonan dan kondisi sosial ekonomi. Sekolah juga harus bertanggungjawab terhadap perubahan masyarakat, yang dapat dilakukan melalui fungsi layanan bimbingann dan forum komunikasi antara sekolah dengan masyarakat. Disisi lain, kesadaran peserta didik untuk mendayagunakan masyarakat sebagai sumber belajar dipengarruhi oleh kegiatan dan pengalaman mengajar yang diikuti disekolah.
Berdasarkan kondisi tersebut, dapat dikemukakan bahwa sekolah dan masyarakat merupakan patnership dalam berbagai aktivitas yang berkaitan dengan aspek-aspek pendidikan, diantaranya :
a. Sekolah dengan masyarakat merupaka satu keutuhan dalam menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan pribadi peserta didik.
b. Sekolah dengan pendidik fan tenaga kependidikan menyadari pentingnya kerjasama dengan masyarakat, bukan saja dalam melakukan pembaruan tetapi juga dalam menerima berbagai konsekuensi dan dampaknya, serta mencari alternatif pemecahannya.
c. Sekolah dengan masyarakat sekitar memiliki andil dan mengambil bagian serta bantuan dalam pendidikan di sekolah, untuk mengembangkan berbagai potensi secara optimal sesuai dengan harapan peserta didik.
Kementerian Pendidikan Nasional (1990; 5-19) menguraikan bahwa :
Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan rasional, yaitu (1) adanya kesesuaian antara fungsi pendidikan yang dimainkan oleh sekolah dengan kebutuhan masyarakat; (2) ketepan sasaran dan target pendidikan yang ditangani oleh sekolah ditentukan oleh kejelasan perumusan kontrak antara fungsi sebagai layanan pesanan masyarakat sangat di pengaruhi oleh ikatan objektif antara sekolah dan masyarakat.

Sejalan dengan bergulirnya roda reformasi yang didorong oleh mahasiswa dan masyarakat pada umumnya, persepsi dan pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini, terutama berangkat dari tumbuhnya kesadaran masyarakat akan pentingnya membekali anaknya dengan berbagai pengetahuan dan tehnologi sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan dimasa depan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat perlu senantiasa di kembangkan. Sebagaimana diungkapkan Mulyasa (2004; 173) bahwa :” School public relation is process of communiction between the scholl and community for purpose of incresing citizen understsnding of educational needs and practice and encouraging intelligent citizen interest and cooperation in the work of improving the school’.
Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan sekolah dengan masyarakat merupaka suatu proses komunikasi untuk meningkatkan pengertian warga masyarakat tentang kebutuhan dan praktek, sreta mendorong minat, dan kerjasama dalam usaha memperbaiki sekolah, karena komunikasi ini merupakan lintasan dua arah, yaitu dari arah sekolah ke masyarakat dan sebaliknya. Hubungan sekolah dengan masyarakat akan tumbuh jika masyrakat juga merasakan manfaat keikutsertaannya dalam program sekolah. Manfaat dapat diartikan luas, termasuk rasa diperhatikan dan rasa puas karena dapat menyumbangkan kemampuannya bagi kepentingan sekolah. Jadi, prinsip menumbuhkan hubungan sekolah denga masyarakat adalah dapat saling memberikan kepuasan. Salah satu jalan penting untuk membina hubungan dengan masyarakat adalah menetapkan komunikasi yang efektif.
Melalui adah komite sekolah tentulah partisipasi masyarakat dan stakeholders lainnya terwadahi. Sesuai skalanya, Dewan Pendidikan merupakan mitra pemerintah kabupaten/kota. Sementara komite sekolah merupaka mitra satuan pendidikan.
Komite Sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Nama Komite sekolah merupakan nama generik, artinya, bahwa nama badan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing satuan pendidikan, seperti Komite Sekolah, Komite Pendidikan, Komite Pendidikan Luar Sekolah, Dewan Sekolah, Majelis Sekolah, Majelis Madrasah, Komite TK, atau nama lainnya yang disepakati. Dengan demikian organisasi yang ada tersebut dapat memperluas fungsi, peran, dan keanggotaannya sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional, Nomor : 044/U/2002.
Pembentukan Komite Sekolah sesuai dengan uraian Kementerian Pendidikan Nasional (2006:21) diterangkan bahwa :
Komite Sekolah dapat dibentuk dengan alternatif sebagai berikut :
Pertama, Komite Sekolah yang dibentuk di satu satuan pendidikan, kedua, Komite ekolah yang di bentuk untuk beberapa satuan pendidikan sekolah yang sejenis. Ketiga, Komite Sekolah yang dibentuk untuk beberapa satuan pendidikan yang berbeda jenis dan jenjang pendidikan dan terletak didalam satu kompleks atau kawasan yang berdekatan.

Berdasarkan uraian diatas, maka jelas bahwa komite sekolah merupakan satu wadah yang dapat di bentuk secara fleksibel sehingga diharapkan memudahkan untuk di bentuk disetiap sekolah atau kumpulan sekolah. Kondisi ini penting karena keberadaan komite sekolah sangat menunjang dalam mewadahi jalinan kerjasama antara sekolah dan masyarakat. Dalam keadaan seperti itu, maka komite sekolah akan dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai penunjang dalam pelaksanaan proses pembelajaran yang sejalan dengan kondisi dan permasalahan di masing-masing sekolah. Komite sekolah dapat melaksanakan fungsinya sebagai patner dari kepala sekolah dalam mengadakan sumber-sumber daya pendidikan dalam rangka melaksanakan pengelolaan yang dapat memberikan fasilitas bagi guru-guru dan murid untuk belajar sebanyak mungkin, sehingga pembelajaran menjadi semakin efektif. Komite sekolah bisa ikut serta meneliti berbagai permasalahan belajar yang dihadapi oleh murid secara kelompok maupun secara individual sehingga dapat membantu guru-guru untuk menerapkan pendekatan belajar yang tepat bagi murid-muridnya.
2.1.3. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
2.1.3.1. Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan terjemahan dari “school based management”. Istilah ini pertama sekali muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an sebagai alternatif utnuk mereformasi pengelolaan pendidikan atau sekolah. Reformasi itu diperlukan karena kinerja sekolah selama puluhan tahun tidak dapat menunjukkan peningkatan yang berarti dalam memenuhi tuntutan perubahan lingkungan, ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dan tuntutan dan perkembangan masyarakat setempat, sebagaimana penjelasan Nanang Fattah (2004:3) semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, telah semakin meningkat tuntutan kebutuhan sosial masyarakat. Apad akhirnya tuntutan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
Secara leksikal, manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis dan sekolah. Manajemen adalah proses menggunakan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran. Berbasis memiliki kata dasar basis yang berarti dasar atau asas. Sekolah adalah lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberikan pelajaran. Berdasarkan makna leksikal tersebut maka MBS dapat diartikan sebagai penggunaan sumber daya yang berasaskan pada sekolah ini sendiri dalam proses pengajaran atau pembelajaran (Nurkolis, 2003:1).
Untuk memahami pengertian Manajemen Berbasis Sekolah, kita dapat menelaah pendapat para ahli yang telah menjelaskan defenisi tentang MBS, yakni :
1. Malen, Ogawa, and Kranz (1990 p.1) dalam Ibtisam Abu Duhou, (1999 : p.28) menyatakan :
“School based management can be viewed conceptually as a formal alternation of governance structures, as a form of decentralization that identifies the individual school as the primary unit of improvement and relies on the redistribusion of decision making authority as the primary means through which improvements might be stimulated and sustained”.

Manajemen berbasis sekolah secara konseptual dapat dilihat sebagai pergantian struktur formal pemerintahan, sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi kemandirian sekolah sebagai unit utama peningkatan dan bertumpu pada redistribusi kewenangan pembuatan keputusan sebagaimana sarana utama melalui rangsangan perbaikan dan berkelanjutan.
2. Brian J Caldwell (2005:p.1), menyatakan :
“School based management is the sistematic decentralization to the school level of authority and responsibility to make decisions on significant matters related to school operations within a centrally determined framework of goals, policies, curriculum, standards, and accountability”.

Manajemen berbasis sekolah adalah desentraliasai yang sistematis untuk kewenangan pada tingkat sekolah dan tanggung jawab untuk membuat keputusan tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan kegiatan sekolah dalam kerangka ditentukan dari tujuan, kebijakan, kurikulum, standard dan akuntabilitas.
3. Ogawa dan White (1994:p.53) dalam Rohiat (2009:47) menyatakan :
School Based management (SBM) is one of form of restructuring that has gained widespread attention. Like others, it seek to change the way school sistem conduct business. It is aimed squarely at improving the academic performance of school by changing their organizational design. Drawing on the experiences of existing programs”.

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu bentuk restrukturisasi yang telah mendapatkan perhatian luas. Seperti orang lain, berusaha untuk mengubah sistem sekolah dengan cara melakukan usaha. Hal ini ditujukan pada meningkatkan prestasi akademik sekolah dengan merubah desain organisasi mereka. Menggambarkan pada pengalaman program yang ada.
4. Susan Ablers Mohrman, dkk dalam Nanang Fattah (2004:17) menyatakan :
“Manajemen Berbasis Sekolah sebagai suatu pendekatan politik untuk mendesain dan memodifikasi struktur pemerintahan dengan memindahkan otoritas ke sekolah, memindahkan keputusan pemerintah pusat ke local stakeholders, dengan mempertaruhkan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Hal tersebut sejalan dengan jiwa dan semangat sentralisasi dan otonomi di sektor pendidikan”.

5. Nanang Fattah (2004:17) mengemukakan bahwa :
“Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai wujud dari “reformasi pendidikan” yang menginginkan adanya perubahan dari kondisi yang kurang baik menuju kondisi yang lebih baik dengan memberikan kewenangan (otorita) kepada sekolah untuk memberdayakan dirinya. Manajemen Berbasis Sekolah pada prinsipnya menempatkan kewenangan yang bertumpu kepada sekolah dan masyarakat, menghindarkan format sentralisasi dan birokratisasi yang dapat menyebabkan hilangnya fungsi manajemen sekolah”.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Tim Teknis BAPPENAS (1999:10) menyataka bahwa :
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan alternatif sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan yang ditandai dengan adanya otonomi luas ditingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional”.
Dari defenisi yang dikemukakan diatas manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai model pengelolaan yang memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada sekolah (otonomi), memberikan fleksibilitas atas keluwesan kepada sekolah, mendorong partisipasi secara langsung dari warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan dan siswa) dan masyarakat (orang tua siswa, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha), untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendiidkan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan kewenangan dan tanggungjawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah serta masyarakat atau stakeholder yang ada. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa MBS merupakan sistem pengelolaan sekolah yang memberikan otonomi luas kepada sekolah dan masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan dengan bertumpu pada kebutuhan dan potensi local, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait dan juga meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Selain itu, otonomi sekolah juga berperan dalam menampung consensus umum yang menyakini bahwa sedapat mungkin keputusan yang diambil seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi, bertanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan dan mereka yang terkena akibat-akibat dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
MBS merupakan paradigm baru pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah (pelibatan masyarakat) dalam rangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa mengeola sumber adaya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat. Pelibatan masyarakat secara legal formal dituangkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 8 menyatakan :”Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan”. Selanjutnya pasal 9, menyatakan :”Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Pelibatan masyarakat dimaksudkan agar lebih memahami, membantu, dan mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam pada itu kebijakan nasional yang menjadi prioritas pemerintah harus pula dilakukan oleh sekolah, yang telah diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor : 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan, pada point 10, peran serta masyarakat dan Kemitraan Sekolah /Madrasah :
1). Sekolah/Madrasah melibatkan warga dan masyarakat pendukung sekolah/madrasah dalam mengelola pendidikan.
2). Warga sekolah/madrasah dilibatkan dalam pengelolaan akademik
3). Masyarakat pendukung sekolah/madrasah dilibatkan dalam pengelolaan non akademik.
4). Keterlibatan peranserta warga sekolah/madrasah dan masyarakat dalam pengelolaan, dibatasi pada kegiatan tertentu yang ditetapkan.
5). Setiap sekolah/madrasah menjalin kemitraan dengan lembaga lain yang relevan, berkaitan dengan input, proses, output dan pemamfaatan lulusan.
6). Kemitraan sekolah/madrasah dilakukan dengan lembaga pemerintah atau non-pemerintah.
7). Kemitraan SD/MI/SDLB atau setara dilakukan minimal dengan SMP/MTs/SMPLB atau yang setara, serta dengan TK/RA/BA atau yang setara di lingkungannya.
8). Kemitraan SMP/MTs/SMPLB atau yang setara dilakukan minimal dengan SMA/SMK/SMALB, MA/MAK, SD/MI atau yang setara, serta dunia usaha dan dunia industri.
9) Kemitraan SMA/SMK/SMALB, MA/MAK atau yang setara dilakukan minimal dengan perguruan tinggi, SMP/MTs atau yang setara, serta dunia usaha dan dunia industri di lingkungannya.
10). Sistem kemitraan sekolah/madrasah ditetapkan dengan perjanjian secara tertulis.

Partisipasi atau keterlibatan warga sekolah secara aktif dalam penyelenggaraan sekolah, akan meningkatkan rasa memiliki (sesnse of belonging) terdhadaps ekolah. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab (sesnse of responsibility). Peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Sudah saaatnya lembaga pendidikan memiliki konsep pengembangan organisasi yang menerapkan konsep learning organization. Artinya lembaga pendidikan memiliki konsep manajemen yang selalu berkembang dan penuh inovasi untuk menciptakan kualitas ke depan. Hal tersebut sejalan dengan pandangan Husein Umar (2002:229) yang mengemukakan bahwa :
“learning organization adalah suatu organisasi yang terus menerus memperluasa kapasitas untuk menciptakan masa depan. Pada tataran praktis, learning organization merupakan organisasi yang memiliki cirri yang khas, seperti : willing, to see, to say, to listen; willing to change; willing to learn.

Pentingnya lembaga pendidikan menerapkan konsep ini dilator belakangi oleh adanya karakteristik pengembangan orgnisasi yang berorientasi pada pemberdayaan sumber daya organisasi sebagaimana yang diungkapkan Husein Umar (2002:229), yaitu :
Karakteristik-karakteristik utama organisasi yang berpeluang besar untuk menerapkan learning organization adalah :
a. Adanya dimana setiap anggota didorong untuk senantiasa belajar dan mengembangkan seluruh potensinya.
b. Ada perluasan budaya belajar, sehingga proses learning ini diadopsi juga oleh para pelanggan, pemasok, stakeholder, dan lainnya.
c. Strategi pengembangan SDM menjadi pusat kebijakan bisnis; dan
d. Terdapat proses transformasi organisasi yang berkesinambungan.

Selanjutnya bahwa organisasi pendidikan harus dijadikan sebagai sarana yang mampu mengajarkan kepada organisasi, dari mulai pimpinan sampai kepada pegawai mengenai bagaimana menghasilkan dan mengoptimalkan keterampilan sebagai entitas kolektif. Konsep pengembangan organisasi dan manajemen memberikan inspirasi bagi organisasi pendidikan, dengan harapan mampu membentuk suatu sistem manajemen organisasi manajemen pendidikan yang handal. Model Manajemen Berbasis Sekolah merupakan inovasi model pengelolaan satuan pendidikan menuju kearah tersebut.
Masyarakat dan pemerintah sepakat untuk melakukan reformasi sekolah sebagai suatu kebutuhan yang mendesak, terutama ketika mayoritas siswa merasa menghadapi permasalahan serius dalam belajar. Bertitik tolak dari kondisi seperti itu, dipandang perlu membangun suatu sistem persekolahan yang mampu memberikan kemampuan dasar (basic skills) bagi siswa. Kebutuhan akan kinerja sekolah yang lebih baik terus tumbuh dan berkembang akan pentingnya pendidikan untuk masa depan. Hal tersebut mengakibatkan perlunya menata pengelola sekolah melalui konsep Manajemen Berbasis Sekolah.
Kesadaran tentang pentingnya pendidikan yang adapat memberikan harapan dan kemungkinan yang lebih baik dimasa yang akan datang telah mendorong berbagai upaya dan perhatian seluruh lapisan masyarakat terhadap setiap gerak, langkah dan perkembangan dunia pendidikan. Pendidikan sebagai salah satu upaya dalam rangka meningkatkan kualitas hidup manusia, pada intinya bertujuan untuk memanusiakan manusia, mendewasakan, serta mengubah perilaku serta meningkatkan kualitas itu sendiri agar menjadi lebih baik.
Kebutuhan akan kinerja sekolah yang lebih baik terus tumbuh dan berkembang sehingga menjadi suatu kebutuhan yang mendesak sejalan dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan untuk kehidupannya. Hal tersebut mengakibatkan perlunya peningkatan efektivitas pengelolaan sekolah yang salah satunya dapat diatau implementasi Manajemen lakukan melalui penerapan dan implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2.1.3.2. Tujuan dan Manfaat Manajemen Berbasis Sekolah
a. Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) yang ditandai dengan adanya otonomi sekolah dan partisipasi masyarakat yang tinggi tanpa mengabaikan kebijakan nasional tersebut ditujukan untuk mewujudkan beberapa tujuan pokok. Tujuan tersebut menurut Tim Teknis BAPPENAS (1999:11) adalah untuk :”Meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan”.
Tujuan MBS menurut Mulyasa (2004:25), MBS merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu, tehnologi yang dinyatakan dalam GBHN. MBS yang ditandai dengan otonomi sekolah dan pelibatan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, peningkatan mutu, dan pemerataan pendidikan.
Pada bagian lain MBS menurut Nanang Fattah (2000:20) bertujuan untuk:
a). Membantu sekolah menjelaskan pengelolaan sekarang dan waktu mendatang;
b). Mendorong adanya keputusan-keputusan (decision making) di tingkat sekolah;
c). Mendorong dan mendukung partisipasi masyarakat:
d). Mendorong terciptanya ketentuan dalam perencanaan dan pelaksanaannya.

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka tujuan Manajemen Berbasis Sekolah memiliki empat point utama, yaitu efisiensi pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, peningkatan partisipasi masyarakat, dan pemerataan pendidikan.
Upaya untuk mencapai tujuan Manajemen Berbasis Sekolah, maka factor-faktor yang terlibat dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah sudah selayaknya mendapat perhatian. Factor-faktor yang perlu diperhatikan tersebut menurut Tim Teknis BAPPENAS (1999: 12-14), meliputi :
a). Kewajiban sekolah,
b). Kebijakan dan prioritas pemerintah,
c). Peranan orangtua dan masyarakat,
d). Peranan profesionalisme dan manajerial, dan
e). Mengembangkan profesi.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, jelas sekali bahwa implementasi Manajemen Berbasis Sekolah melibatkan seluruh komponen dan oleh karena itu agar berhasil dengan baik, maka dalam pelaksanaan MBS setiap prinsip tersebut perlu dikaji, diidentifikasi, diperhatikan dan dijadikan pedoman dalam setiap kegiatan pelaksanaan MBS.
b. Manfaat manajemen Berbasis Sekolah
Beberapa manfaat yang dapat dirasakan jika sekolah telah melaksanakan Manajemen Berbasis Sekolah, sebagaimana yang dinyatakan Mulyasa (2004:27) menyatakan :”mamfaat MBS diantaranya memberikan kebebasan dan kekuasaan yang lebih besar kepada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan pengembangan strategi MBS, sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga lebih berkonsentrasi pada tugas. MBS dapat mendorog profesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan di sekolah.
Berdasarkan mamfaat-mamfaat yang diuraikan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model Manajemen Berbasis sekolah merupakan solusi yang tepat untuk menangani masalah pengelolaan pendidikan di tingkat sekolah.

-2.1.3.3. Prinsip Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Teori yang digunakan MBS untuk mengelola sekolah didasarkan pada empat prinsip yaitu:
a. Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan. MBS menekankan fleksibilitas sehingga sekolah harus dikelola oleh warga sekolah menurut kondisi mereka masing-masing. Karena kompleknya pekerjaan sekolah saat ini dan adanya perbedaan yang besar antara sekolah yang satu dengan yang lain, misalnya perbedaan tingkat akademik siswa dan situasi komunitasnya, sekolah tak dapat dijalankan dengan struktur yang standar di seluruh kota, provinsi, apalagi negara. Sekolah harus mampu memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya dengan cara yang paling tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisinya. Walaupun sekolah yang berbeda memiliki masalah yang sama, cara penanganannya akan berlainan antara sekolah yang satu dengan yang lain.
b. Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas. Prinsip desentralisasi dilandasi oleh teori dasar bahwa pengelolaan sekolah dan aktifitas pengajaran tak dapat dielakkan dari kesulitan dan permasalahan. Pendidikan adalah masalah yang rumit dan kompleks sehingga memerlukan desentralisasi dalam pelaksanaannya.
Oleh karena itu, sekolah harus diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memecahkan masalahnya secara efektif dan secepat mungkin ketika masalah itu muncul. Dengan kata lain, tujuan prinsip desentralisasi adalah efisiensi dalam pemecahan masalah, bukan menghindari masalah. Oleh karena itu MBS harus mampu menemukan masalah, memecahkannya tepat waktu dan memberi sumbangan yang lebih besar terhadap efektivitas aktivitas pengajaran dan pembelajaran. Tanpa adanya desentralisasi kewenangan kepada sekolah itu sendiri maka sekolah tidak dapat memecahkan masalahnya secara cepat, tepat, dan efisiensi.
c. Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri. Sekolah dapat menyelesaikan masalahnya bila telah terjadi pelimpahan wewenang dari birokrasi diatasnya ke tingkat sekolah. Dengan adanya kewenangan di tingkat sekolah itulah maka sekolah dapat melakukan sistem pengelolaan mandiri.
d. Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human Initiative)
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Sekolah dan lembaga pendidikan yang lebih luas tidak dapat lagi menggunakan istilah staffing yang konotasinya hanya mengelola manusia sebagai barang yang statis. Lembaga pendidikan harus menggunakan pendekatan human recources development yang memiliki konotasi dinamis dan menganggap serta memperlakukan manusia di sekolah sebagai aset yang amat penting dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Nurkolis.( 2003: 52.)


2.1.3.4. Komponen-Komponen Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Manajemen sekolah pada hakikatnya mempunyai pengertian yang hampir sama dengan manajemen pendidikan. Ruang lingkup dan bidang kajian manajemen sekolah juga merupakan ruang linkup dan bidang kajian manajemen pendidikan. Namun demikian, manajemen pendidikan mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada manajemen sekolah. Dengan perkataan lain, manajemen sekolah merupakan bagian dari manajemen pendidikan, atau penerapan manajemen pendidikan dalam organisasi sekolah sebagai salah satu komponen dari sistem pendidikan yang berlaku. Manajemen sekolah terbatas pada salah satu sekolah saja, sedangkan manajemen pendidikan meliputi seluruh komponen sistem pendidikan, bahkan bisa menjangkau sistem yang lebih luas dan besar (suprasistem) secara regional, nasional, bahkan internasional.
Hal yang paling penting dalam implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS, yaitu:
a. Manajemen kurikulum dan program pengajaran
b. Manajemen tenaga kependidikan
c. Manajemen kesiswaan
d. Manajemen keuangan dan pembiayaan
e. Manajemen sarana dan prasarana pendidikan
f. Manajemen hubungan sekolah dengan masyarakat
g. Manajemen layanan khusus. E. Mulyasa.( 2004: 39.)
2.1.3.5. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Dengan mengadopsi ide dasar Edward B. Fiska (1996) Nanang Fatah menggambarkan konsep manajemen berbasis sekolah sebagai berikut:













Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) secara konsepsional akan membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam hal mutu, efisiensi manajemen keuangan, pemerataan lewat perubahan kebijakan desentralisasi di berbagai aspek seperti politik, edukatif, administratif dan anggaran pendidikan. MBS selain akan meningkatkan kualitas belajar mengajar dan efisiensi operasional pendidikan, juga tujuan politik terutama iklim demokratisasi di sekolah. Nanang Fattah mengungkapkan keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di Spanyol yaitu menciptakan kualitas manajemen dan pendidikan, sebagai strategi untuk memperbaiki kinerja sekolah yang mampu meningkatkan kemauan dan kemampuan kepala sekolah untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Hal ini dipandang sebagai demokrasi di tingkat lokal sekolah. Nanang Fattah (2004 : 26-27)
2.1.3.6. Strategi Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Pada dasarnya, tidak ada strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi implementasi MBS di satu negara ke negara lain bisa berlainan, antara satu daerah dengan daerah lain juga bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang samapun bisa berlainan strateginya.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa implementasi MBS akan berhasil melalui strategi-strategi berikut ini. Pertama, sekolah harus memiliki otonomi terhadap empat hal, pertama, dimilikinya otonomi dalam kekuasaan dan kewenangan, pengembangan pengetahuan dan keterampilan secara berkesinambungan, akses informasi ke segala bagian dan pemberian penghargaan kepada setiap pihak yang berhasil. Kedua, adanya peran serta masyarakat secara aktif dalam hal pembiayaan, proses pengambilan keputusan terhadap kurikulum dan instruksional serta non instruksional. Ketiga, adanya kepemimpinan sekolah yang kuat sehingga mampu menggerakkan dan mendayagunakan setiap sumber daya sekolah secara efektif terutama kepala sekolah harus menjadi sumber inspirasi atas pembangunan dan pengembangan sekolah secara umum. Kepala sekolah dalam Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) berperan sebagai designer, motivator, fasilitator dan liaison. Keempat, adanya proses pengambilan keputusan yang demokratis dalam kehidupan dewan sekolah yang aktif. Dalam pengambilan keputusan kepala sekolah harus mengembangkan iklim demokratis dan memperhatikan aspirasi dari bawah. Kelima, semua pihak harus memahami peran dan tanggung jawabnya secara sungguh-sungguh. Keenam, adanya guidelines dari Departemen pendidikan terkait sehingga mampu mendorong proses pendidikan di sekolah secara efisien dan efektif. Ketujuh, sekolah harus memiliki transparansi dan akuntabilitas yang minimal diwujudkan dalam laporan pertanggung jawaban setiap tahunnya. Kedelapan, penerapan MBS harus diarahkan untuk pencapaian kinerja sekolah dan lebih khusus lagi adalah meningkatkan pencapaian belajar siswa. Kesembilan, implementasi diawali dengan sosialisasi dari konsep MBS, identifikasi peran masing-masing, pembangunan kelembagaan (capacity building) mengadakan pelatihan-pelatihan terhadap peran barunya, implementasi pada proses pembelajaran, evaluasi atas pelaksanaan di lapangan dan dilakukan perbaikan-perbaikan. Nurkolis. (2003: 132.)
Sedangkan menurut Slamet P.H (2001) karena pelaksanaan MBS merupakan proses yang berlangsung secara terus menerus dan melibatkan semua unsur yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah, strategi yang ditempuh adalah sebagai berikut:
Pertama, mensosialisasikan konsep MBS ke seluruh warga sekolah melalui seminar, diskusi, forum ilmiah, dan media massa. Kedua, melakukan analisis situasi sekolah dan luar sekolah yang hasilnya berupa tantangan nyata yang harus dihadapi oleh sekolah dalam rangka mengubah manajemen berbasis pusat ke MBS. Ketiga, merumuskan tujuan situasional yang akan dicapai dari pelaksanaan MBS berdasarkan tantangan nyata yang harus dihadapi. Keempat, mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu untuk diteliti tingkat kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud antara lain pengembangan kurikulum, pengembangan tenaga pendidikan dan non kependidikan, pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan sekolah, pengembangan hubungan sekolah dengan masyarakat, fasilitas dan fungsi-fungsi lain. Kelima, menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis SWOT. Keenam, memilih langkah-langkah pemecahan persoalan, yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap. Ketujuh, membuat rencana jangka pendek, menengah, dan panjang beserta program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Kedelapan, melaksanakan program-program untuk merealisasikan rencana jangka pendek MBS. Kesembilan, melakukan pemantauan terhadap proses dan evaluasi terhadap hasil MBS. Nurkolis (2003: 135)
Dengan demikian strategi implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat terakit dengan kondisi obyektif yang ada di sekolah dan stakeholders. Oleh karena itu peluang kepala sekolah dan guru sebagai tumpuan sekolah ditantang untuk bertindak sekreatif mungkin. Sejalan dengan hal itu guru dan kepala sekolah dituntut untuk terus meningkatkan profesionalitasnya sehingga dapat memberdayakan semua sumber daya secara optimal.
2.1.3.7. Karakteristik Manajemen Berbasis Sekolah
Karakteristik MBS yang dikemukakan oleh Nanang Fattah (2004:20) menyatakan “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) akan efektif diterapkan jika para pengelola pendidikan mampu melibatkan stakeholder terutama peningkatan peran serta masyarakat dalam menentuan kewenangan, pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan oleh masing-masing sekolah”. Sejalan dengan Mulyasa (2004:29) yaitu : “Bagaimana sekolah dapat mengoptimalkan kinerja sekolah, proses pembelajaran, pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya adminitrasi”. Oleh karena itu kepala sekolah dan guru sebagai pelaksana sekolah dintantang untuk bertindak kreatif. Kepala sekolah dituntut untuk terus meningkatkan profesinalismenya sehingga dapat memberdayakan semua sumber daya secara optimal. Pada bagian lain Tim Teknis BAPPENAS (1999 : 16) menyebutkan bahwa karakteristik MBS dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu : “(a) organisasi sekolah, (b) proses belajar mengajar (c) sumber daya manusia serta administrasi”. Untuk lebih jelasnya, penulis akan menguraikan hal-hal tersebut, yaitu :
a) Organisasi sekolah. Dalam keorganisasian sekolah, pengimplementasian MBS ditandai oleh beberap hal, yaitu menyediakan manajemen organisasi/ kepemimpinan transformasional dalam mencapai tujuan sekolah, menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk sekolahnya, mengelola kegiatan operasional sekolah, menjamin adanya komunikasi yang efektif antara sekolah dan masyarakat terkait, menggerakkan partisipasi masyarakat dan menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan pemerintah.
b) Proses Belajar Mengajar. Proses belajar mengajar yang bercirikan MBS ditandai oleh beberap hal, yaitu meningkatkan kualitas belajar siswa, mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah, menyelenggarakan pengajaran yang efektif serta penyediaan program pengembangan yang diperlukan oleh siswa.
c) Sumber daya Manusia. Sumber daya manusia dalam MBS ditandai oleh beberapa hal, seperti pemberdayaan staf dan memantapkan personil yang dapat melayani keperluan semua siswa, memilih staf yang memiliki wawasan MBS, menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf, menjamin kesejahteraan staf dan siswa serta menyelenggarakan forum atau diskusi untuk membahas kemajuan sekolah.
d) Sumber Daya Administrasi. Sumber daya administrasi ditandai dengan adanya beberapa hal, yaitu mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan dan mengalokasikan sumber daya tersebut sesuai dengan kebutuhan, mengelola dana sekolah, menyediakan dukungan administrative dan mengelola serta memelihara gedung termasuk sarana yang lainnya.
2.1.4. Sarana dan Prasarana Merupakan Komponen Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Impelementasi MBS merupakan suatu harapan untuk diwujudkan oleh setiap sekolah sehingga berdampak terhadap peningkatan mutu pembelajaran. Keberhasilan pengimplementasian manajemen berbasis sekolah akan ditentukan oleh optimalisasi sumber daya pendidikan yang dimiliki sekolah. Hal tersebut mengandung arti bahwa keberhasilan sekolah ditentukan oleh sejauh mana komponen sumber daya sekolah mendukung dan memfasilitasi realisasi sistem manajemen kemandirian dengan benar dan tepat. Model implementasi MBS dapat dipertimbangkan untuk dikaji oleh sekolah terkait dengan komponen sarana dan prasarana pendidikan yang di dalamnya mencakup aspek : (a) perencanaan, (b) pengadaan, (c) penggunaan, dan (d) perawatan.
Sarana dan prasarana merupakan suatu komponen pendidikan yang memerlukan suatu penanganan yang optimal dalam mendukung keberhasilan implementasi MBS. Sarana dan prasarana merupakan suatu alat yang dapat menopang terealisasinya suatu sistem MBS, artinya sarana dan prasarana pendidikan memiliki kontribusi yang besar dalam keberhasilan sistem sekolah.
Sekolah dituntut untuk mampu merencaakan komponen sarana dan prasarana dalam pengimplementasian MBS. Perencanaan sarana dan prasarana ini merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan dalam menetapkan program-program yang terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana pendidikan sehingga mendukung terhadap tujuan. Adapun aspek – aspek yang terkait dengan perencanaan ini yaitu :
a). Mengidentifikasi kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Sekolah dalam hal ini mengkaji dan menelusuri seluruh kebutuhan yang terkait dengan keberadaan sarana dan prasarana. Pengkajian yang dilakukan diarahkan untuk mengetahui sarana dan prasarana yang diperlukan dalam merealisasikan program sekolah. Hal ini dapat dilakukan dengan penelaahan kebutuhan pada tiap unit kerja sekolah sehingga pengkajian dapat direalisasikan secara menyeluruh dan objektif. Pengidentifikasian yang dilakukan hendaknya diarahkan selain pada sarana dan prasarana yang belum ada juga pada sarana dan prasarana yang keberadaannya sudah rusak.
b). Menetapkan prioritas kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan di sekolah. Setelah pengkajian yang dilakukan maka hasilnya akan menyajikan data terkaitg dengan sarana dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan. Sudah barang tentu, kapasitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan akan berbeda yang dirasakan tiap sekolah dan diantaranya akan tidak sebanding kemampuan perwujudannya dengan kemampuan pengadaannya. Hal tersebut dapat dilakukan penanggulannya dengan melakukan penetapan prioritas sesuai dengan tingkat kepentingan sarana dan prasarana tersebut terhadap program sekolah. Namun suatu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, bahwa prioritas kebutuhan sarana dan prasarana yang ditetapkan dalam program pengadaan maupun pemeliharaan dalam tahun ini hendaknya diwujudkannya dalam program tahun mendatang.
c) Menuangkan dalam bentuk program. Penetapan kebutuhan yang dituangkan terhadap program-program yang terkait dengan sarana dan prasarana pendidikan. Program-program tersebut merupakan rangkaian kegiatan yang akan diselenggarakan dalam pengimplementasian MBS sehingga melalui program tersebut diharapkan dapat merealisasikan tujuan yang ditetapkan.
Pengadaan sarana dan prasarana merupakan suatu tindak lanjut dari program perencanaan yang terkait dengan adanya suatu kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan yang belum dimiliki oleh pihak sekolah. Pengadaan ini merupakan langkah untuk memperlengkapi sekolah dengan alat-alat yang dibutuhkan untuk mendukung terealisasinya program sekolah. Upaya pengadaan ini di dalamnya mencakup aspek-aspek yang terkait dengan pengusulan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan kepada pihak terkait dan pengadaan sarana dan prasarana pendidikan sesuai dengan prioritas dan kemampuan sekolah.
Penggunaan sarana dan prasarana pendidikan yang sudah ada merupakan suatu hal yang penting dalam manajemen komponen ini. Tingkat kontribusi sarana dan prasarana dalam implementasi MBS akan terkait dengan sejauhmana pemamfaatan atau penggunaan yang dilakukan oleh sekolah. Keberadaan sarana dan prasarana tidak ada artinya jika penggunaannya tidak dilakukan secara optimal. Maka penggunaan ini suatu penanganan yang berarti sehingga mamfaat yang dirasakan dari sarana dan prasarana pendidikan yang ada mampu mendukung terhadap keberhasilan program sekolah.
Perawatan merupakan aspek yang terdapat dalam komponen manajemen sarana dan prasarana pendidikan. Perawatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengkondisikan sarana dan prasarana pendidikan dengan optimal, baik secara wujud dan pemamfaatannya. Perawatan ini dapat dilakukan dengan kegiatan pemeliharaan dan penjagaan dari kerusakan sehingga keberadaannya dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

2.1.5. Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah.
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (2007:284) dikemukakan bahwa efektif berarti ada efeknya (akibatnya, pengaruh, kesannya), manjur atau mujarab dapat membawa hasil. Jadi efektivitas adalah adanya kesesuaian antara orang yang melaksanakan tugas dengan sasaran yang menjadi tujuan. Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memamfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional (Mulyasa, 2004:82).
Efektivitas adalah bagaimana suatu organisasi berhasil mendapatkan dan memamfaatkan sumber daya dalam usaha mewujudkan tujuan operasional. Efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu, dan adanya partisipasi aktif dari anggota. Sejalan dengan Aan Komariah dan Cepi Triaatna (2006:8) menyebutkan : “ Efektivitas menunjukkan ketercapaian sasaran atau tujuan yang ditetapkan. Efektivitas sekolah terdiri dari dimensi manajemen dan kepemimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan, dan personel lainnya : siswa, kurikulum, sarana-prasarana, pengelolaan kelas, hubungan sekolah dan masyarakatnya; pengelolaan bidang khusus lainnya hasil nyatanya merujuk kepada hasil yang diharapkan bahkan menunjukkan kedekatan atau kemiripan antara hasil nyata dengan hasil yang diharapkan”.
Disamping itu Aan Komariah dan Cepi Triatna (2006:34) menegaskan “Efektivitas adalah ukuran yang menyatakan sejauhmana sasaran (kuantitas, kualitas, waktu) telah tercapai. Dalam bentuk persamaan, efektivitas sama dengan hasil nyata dibagi hasil yang diharapkan”. Efektivitas manajemen berbasis sekolah berarti bagaimana strategi agar berhasil melaksanakan tugas pokok sekolah, menjalin partisipasi masyarakat, mendapatkan serta memamfaatkan sumber daya, sumber dana dan sumber belajar untuk mewujudkan tujuan sekolah. Sejalan dengan pemikiran tersebut maka dalam penelitian ini, mengartikan efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah merupakan ukuran keberhasilan yang diraih oleh kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinannya guna mewujudkan peningkatan mutu pendidikan.
Selanjutnya Sergiovanni (1987) dalam Mulyasa, (2004:85) menyatakan bahwa :
Efektivitas Manajemen Berbasis Sekolah dapat dilihat dari efektivitas kepala sekolah dalam melaksanakan tugasnya, yang diidentifikasikan sebagai berikut : (1) Produktivitas; (2) Efisiensi; (3) Kualitas; (4) Pertumbuhan; (5) Ketidak hadiran; (6) Perpindahan; (7) Kepuasan kerja guru; (8) Kepuasan peserta didik; (9) Motivasi; (10) Semangat; (11) Kepaduan; (12) Keluwesan dan adaptasi; (13) Perencanaan dan perumusan tujuan; (14) Konsensus tujuan; (15) Internalisasi tujuan organisasi; (16) keahlian manajemen dan kepemimpinan; (17) Manajemen informasi dan komunikasi; (18) Kesiagaan; (19) Pemamfaatan lingkungan; (20) Penilaian dari pihak luas; (21) Stabilitas; (22) Penyebaran pegaruh; dan (23) latihan dan pengembangan.

Beranjak dari pengertian di atas, berhasil atau tidaknya suatu sekolah dalam mengimplementasikan manajemen berbasis sekolah dapat ditinjau sejauhmana 23 komponen tersebut mampu diwujudkan. Efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah dalam penelitian ini merupakan ukuran keberhasilan yang diraih oleh kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinannya guna mewujudkan peningkatan mutu sekolah. Peneliti dalam hal ini mengelompokkan indikator efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah mencakup :


a. Kemandirian
MBS memberikan otonomi luas kepada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber adaya dan pengembangan strategi sesuai dengan kondisi setempat, sekolah dapat lebih memberdayakan tenaga pendidik agar lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya mengajar. Sekolah sebagai lembaga pendidikan diberi kewenangan dan kekuasaan yang luas untuk mengembangkan program – program kurikulum dan pembelajaran sesuai dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik serta tuntutan masyarakat. Untuk mendukung keberhasilan program tersebut, sekolah memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menggali dan mengelola sumber dana sesuai dengan prioritas kebutuhan. Melalui otonomi yang luas, sekolah dapat meningkatkan kinerja tenaga kependidikan dengan menawarkan partisipasi aktif mereka dalam pengambilan keputusan dan tanggung jawab bersama dalam melaksanakan keputusan yang diambil secara proporsional dan professional. Sekolah memiliki kewenangan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Upaya untuk menciptakan kemandirian, sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
b. Demokratis
Sekolah yang menerapkan konsep MBS memiliki karakteristik pelaksanaan program-program sekolahnya didukung oleh adanya kepemimpinan sekolah yang demokratis mengutamakan musyawarah untuk mufakat. Kepala sekolah dalam pengambilan keputusan mengimplementasikan proses “bottom-up” secara demokratis, sehingga semua pihak memiliki tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanaannya.
Kepemimpinan demokratis membiakkan komitmen warga sekolah dan masyarakat yang luas maupun hubungan-hubungan horizontal: kepercayaan (trust), toleransi, kerjasama, dan solidaritas untuk membentuk dan mempengaruhi pencapaian tujuan bersama, yakni pendidikan bermutu dan pemerataan pendidikan untuks emua anak.
c. Partisipatif
Sekolah yang menerapkan konsep MBS memiliki karakteristik pelaksnaan program-program sekolah didukung oleh partisipasi masyarakat dan orangtua murid yang tinggi. Orangtua peserta didik dan masyarakat tidak hanya mendukung sekolah melalui bantuan keuangan, tetapi komite sekolah perumusan dan pengembangan program-program yang dapat meningkatkan kualitas sekolah. Masyarakat dan orangtua menjalin kerjasama untuk membantu sekolah sebagai narasumber berbagai kegiatan sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
d. Transparansi
Sekolah yang menerapkan konsep MBS memiliki karakteristik keberhasilan program-program sekolah didukung oleh kinerja team-work yang kompak dan transparan dari berbagai pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah. Komite sekolah bekerjasama dengan harmonis sesuai dengan posisinya masing-masing untuk mewujudkan “sekolah yang dapat dibanggakan” oleh semua pihak. Mereka saling menunjukkan kuasa atau paling berjasa, tetapi masing-masing memberi kontribusi terhadap upaya peningkatan mutu dan kinerja sekolah secara menyeluruh. Dalam pelaksanaan program misalnya, pihak-pihak terkait bekerjasama secara professional untuk mencapai tujuan-tujuan atau target yang disepakati bersama. Dengan demikian, keberhasilan MBS merupakan hasil sinergi (synergistic effect) dari kolaborasi tim yang kompak dan tarsparan.
e. Akuntabilitas
Sekolah yang menerapkan konsep MBS memiliki karakteristik pelaksanaan program-program perlu disertai dengan pertanggung jawaban atau akuntabilitas. Sekolah dituntut untuk memiliki akuntabilitas baik kepada masyarakat maupun kepada pemerintah. Hal ini merupakan perpaduan antara komitmen terhadap standar keberhasilan dan harapan atau tuntutan orang tua dan masyarakat. Pertanggungjawaban (accountability) ini bertujuan untuk meyakinkan bahwa dana masyarakat dan pemerintah dipergunakan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan juga mungkin untuk menyajikan informasi mengenai apa yang sudah dikerjakan. Untuk itu setiap sekolah harus memberikan laporan pertanggungjawaban dan mengkomunikasikannya kepada orangtua, masyarakat dan pemerintah, dan melaksanakan kaji ulang secara komprehensif terhadap pelaksanaan program prioritas sekolah dalam proses peningkatan mutu. Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan.
2.1.6. Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah Beserta Pemecahannya
2.1.6.1. Faktor Pendukung Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Suatu program yang dicanangkan tidak akan berjalan dan berhasil secara maksimal apabila tidak tersedia berbagai faktor pendukung. Faktor pendukung bisa berasal baik dari internal maupun eksternal.
Dalam implementasi MBS, secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Dukungan finansial, dukungan sumber daya manusia beserta pemikirannya, sarana dan prasarana lainnya juga menjadi faktor pendukung yang penting. Nurkolis. (2003 130.)
Peluang keberhasilan penerapan MBS di Indonesia pada saat ini cukup besar karena adanya beberapa faktor, antara lain pertama, tuntutan kehidupan demokratisasi yang cukup besar dari masyarakat dalam era reformasi. Kedua, penerapan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada otonomi pemerintahan pada tingkat kabupaten/kota. Ketiga, adanya komite sekolah yang berfungsi untuk membantu pelaksanaan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) pendidikan di banyak sekolah. Keempat, adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dengan meningkatkan tugas, fungsi dan peran Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Nurkolis. (2003 130.)
Peningkatan mutu diperoleh melalui partisipasi orang tua, kelenturan pengelolaan sekolah, peningkatan profesionalisme guru, adanya hadiah dan hukuman sebagai kontrol serta hal lain yang dapat menumbuhkembangkan suasana yang ada. E. Mulyasa. (2003: 13)
Dari uraian diatas dapat penulis simpulkan bahwa pengelolaan sekolah pada hakikatnya bukanlah merupakan kewenangan dan kewajiban kepala sekolah saja akan tetapi disini sekolah dalam pengelolaannya diharapkan melibatkan stakeholder yang ada. Karena keterlibatan seluruh stakeholder merupakan salah satu modal dasar guna mendukung terealisasinya penerapan MBS di sekolah.
2.1.6.2. Faktor Penghambat Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
Pengelolaan lembaga pendidikan yang profesional adalah suatu keharusan yang harus dilaksanakan agar tidak tertinggal dengan arus informasi dan globalisasi serta dapat menjawab tantangan zaman yang serba komplek ini. Karena tugas lembaga pendidikan yang begitu berat maka di dalam pengelolaannya tidaklah lepas dari beberapa hambatan-hambatan yang harus dihadapi.
Adapun faktor penghambat dalam pengelolaan lembaga pendidikan diantaranya adalah:
a. Anak didik
Anak didik merupakan salah satu faktor utama pendidikan yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar, sebagaimana yang disebutkan oleh Tim Dosen IKIP Malang bahwa "kalau kita perhatikan siswa-siswi kita akan segera mengetahui bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda meskipun mereka memiliki usia kalender yang sama, tetapi kemampuan mentalnya tidak sama". Tim Dosen FIP IKIP Malang (2003: 110).
b. Pendidik
Keadaan keluarga guru yaitu kesehatan, sosial psikologis serta kesejahteraan ekonomi merupakan penghalang atau faktor sosial yang mempengaruhi kemajuan pelaksanaan tugas guru, iklim sosial psikologis yang tidak tenteram, kesehatan keluarga yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan dalam keadaan kesejahteraan ekonomi mereka kurang terjamin dapat mengganggu tugas kerja mereka di sekolah. Tim Dosen FIP IKIP Malang (2003: 101).
Jadi dapat penulis simpulkan bahwa tingkat kesejahteraan ekonomi guru yang kurang terjamin akan menjadi hambatan bagi keintesifan dalam keterlibatan guru pada pengembangan sekolah.
c. Dana dan Sarana Prasarana
Kurangnya pendanaan dan sarana prasarana adalah merupakan permasalahan pendidikan di Indonesia. Banyak lembaga pendidikan yang dalam pengembangannya kurang lancar karena disebabkan kurangnya masalah pendanaan dan sarana prasarana.
Faktor sosial yang mempengaruhi kemajuan sekolah adalah sumber-sumber dana yang tersedia dalam masyarakat dan disediakan bagi pembangunan sistem persekolahan. Lingkungan sosial sekolah yang terdiri atas keluarga yang relatif keadaan sosial ekonominya baik dan demikian pula pemerintah daerah memiliki sumber-sumber alam, taraf hidup yang tinggi dan sumber alam, taraf hidup yang tinggi dan sumber pajak yang banyak pada suatu ketika dapat berpengaruh pada kemajuan pendidikan di sekolah. Tim Dosen FIP IKIP Malang (2003: 102).
Jadi dari pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa masalah dana dan prasarana merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan lembaga pendidikan.
d.Partisipasi Masyarakat
Peran serta masyarakat sangatlah berpengaruh pada jalannya pengelolaan sekolah, karena masyarakatlah yang menentukan arah dan tujan pendidikan.
Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa bantuan dan kesadaran masyarakat atau orang tua murid yang makin tinggi, maka hal ini akan menunjang kelestarian hidup pendidikan swasta. Bantuan ini adalah lebih mengutamakan bantuan yang bersifat material dan juga bantuan moral, perlengkapan inventaris, tenaga pendidik, dan lain-lain. Tim Dosen FIP IKIP Malang (2003: 103).

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan apabila dukungan masyarakat kurang maka akan berpengaruh pada keberhasilan pengelolaan sekolah.
2.1.6.3. Pemecahan Faktor Penghambat Manajemen Berbasis Sekolah
a. Peserta didik
Dalam mengatasi problematika yang berkenaan dengan masalah belajar yang dialami siswa, maka guru harus mendiagnosis kesuitan-kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Dari hasil diagnosis ini guru merancang pertolongan terhadap murid berupa perbaikan belajar mengajar.
Diagnosis dan perbaikan belajar mempunyai peranan penting dalam membantu murid berkembang sesuai dengan kemampuannya, mendorong guru untuk lebih mengenal keanekaragaman muridnya, serta untuk meningkatkan kepuasan murid belajar dan kepuasan guru mengajar Noehi Nasution, (1994:211.)
b. Pendidik
Seorang manajer sekolah dalam hal ini kepala sekolah haruslah tanggap dengan kondisi dan kemampuan tenaga pengajar yang ada di sekolahnya, baik itu dalam hal skill maupun perekonomiannya. Oleh karena itu guna untuk meningkatkan gairah pendidik maka harus ada kompensasi bagi guru.
Kompensasi adalah balas jasa yang diberikan organisasi kepada pegawai, yang apat dinilai dengan uang dan mempunyai kecenderungan diberikan secara tetap. Pemberian kompensasi selain dalam bentuk gaji, dapat juga berupa tunjangan fasilitas perumahan, kendaraan, dan lain-lain . E. Mulyasa. (2004. 40).
Selain itu, dalam peningkatan skill pendidik dapat dengan jalan mengikutkan dalam penataran, seminar, work shop, dan lain-lain yang sesuai dengan bidangnya.
c. Dana dan sarana prasarana
Biaya dan sarana prasarana merupakan faktor penting dalam pengembangan sekolah. Guna mencukupi biaya pendidikan, pembangunan sarana dan fasilitas pendidikan terutama sarana fisik, alat pengajaran, dan ruang belajar, serta kelengkapan buku-buku pegangan siswa dan yang lainnya, seringkali sekolah mendapatkan bantuan sarana dan prasarana pendidikan dari Pemerintah. Bahan-bahan pustaka, khususnya yang berupa buku-buku, biasanya merupakan bantuan atau dropping dari Pemerintah, baik dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan maupun Kantor Pusat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ali Imron dan Burhanuddin.(2004: 89.)
Selain itu, sebagai alternatif lain yang bisa dilakukan oleh lembaga pendidikan adalah dengan meningkatkan hubungan dan kerjasama dengan masyarakat yaitu dengan membentuk donatur-donatur tetap.
d. Partisipasi masyarakat
Sebagaimana diketahui peranan masyarakat dalam pengelolaan dan perkembangan lembaga pendidikan sangatlah berpengaruh dalam keberhasilan penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
Makin majunya pengertian masyarakat akan pentingnya pendidikan anak-anaknya, maka merupakan kebutuhan vital bagi sekolah dan masyarakat untuk menjalin kerjasama. Kerjasama tersebut dimaksudkan demi kelancaran pendidikan sekolah pada umumnya, dan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa pada khususnya. Hendyat Sutopo dan Wasty Sumanto( 2006:. 235.)
Oleh karena itu, dapat penulis simpulkan bahwa peran masyarakat dalam ikut serta mendukung dan berpartisipasi aktif dalam ikut memikirkan dan mengembangkan sekolah sangat perlu ditingkatkan baik itu dari sisi moril maupun materiil.


2.2. Hasil Penelitian Terdahulu yang relevan
Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi dan pertimbangan dalam penelitian ini, yakni :
1. Agung Suryatriatna (SPs. UPI Bandung, 2005) dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh Partisipasi Perusahaa dan Kinerja Komite Sekolah terhadap Efektifitas pengelolan Sekolah”, menyampaikan bahwa : a) variabel kinerja komite sekolah memiliki pengaruh yang positif dan signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap efektifitas pengelolaan tiga Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Anjasari Kabupaten Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa Kinerja Komite Sekolah yang meliputi aspek advisor, supporting, controlling dan mediatori, baik secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi terhadap pengeloaan sekolah; b) Koefisien variabel kinerja komite sekolah terhadap variabel efektifitas pengelolaan sekolah adalah sebesar 0,439.
2. Cholmin Heryadi (SPs. UPI Bandung, 2007) dalam tesisnya yang berjudul “persepsi Guru Tentang Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah daKinerja Komite Sekolah terhadap efektifitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (studi kasus pada Sekolah Dasar Negeri di Kabupaten lahat)” menyatakan bahwa : a) besarnya hubungan / korelasi antara variabel kemampuan manajerial kepala sekolah menggunakan rumus regresi adalah sebesar 0,98, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Dengan demikian kemampuan manajerial kepala sekolah memiliki kontribusi yang kuat terhadap efektifitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah. B) besarnya hubungan/korelasi antara variabel komite sekolah terhadap implmentasi manajemen berbasis sekolah dengan menggunakan rumus regresi adalah sebesar 0,97, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Dengan demikian kinerja komite sekolah memiliki kontribusi yang kuat terhadap efektifitas impelemntasi manajemen berbasis sekolah.
3. Purwanto (SPs. UPI bandung, 2008) dalam tesis berjudul “Kontribusi Kinerja KOmite Sekolah dan kemampuan Manajerial Kepala sekolah terhadap Efektifitas Impelemntasi Berbasis Sekolah (studi Deskriptif analitik pada SMA di Kabupaten Purwakarta)” menyatakan bahwa : a) besarnya hubungan/ korelasi antara variabel kinerja komite sekolah dengan variabel efektifitas impelementasi manajemen berbasis sekolah dengan menggunakan rumus regresi alah sebesar 0,434, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Dengan demikian kinerja komite sekolah memiliki kontribusi yang kuat terhadap efektifitas impelemntasi manajemen berbasi sekolah. b). Besarnya hubungan / korelasi antara variabel kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap efektifitas impelemntasi manajemen berbasis sekolah dengan menggunakan rumus regresi adalah sebesar 0,478, hal ini menunjukkan hubungan yang kuat. Dengan demikian kemampuan manajerial kepala sekolah memiliki kontribusi yang kuat terhadap efektifitas impelemntasi manajemen berbasis sekolah.






BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1. KERANGKA KONSEPTUAL

Kerangka Konseptual merupakan alur pemikiran suatu permasalahan yang dimunculkan dalam penelitian. Adapun fokus penelitian yang akan disajikan meliputi :
1. Kemampuan manjerial kepada sekolah merupakan variable bebas yang diberi tanda (X1). Kemampuan manajerial kepala sekolah dalam penelitian ini ditinjau dari aspek-aspek meliputi :
a. Menyusun perencanaan sekolah untuk berbagai tingkatan perencanaan
b. Mengembangkan organisasi sekolah sesuai dengan ketentuan
c. Memimpin sekolah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah secara optimal
d. Mengelola perubahan dan pengembangan sekolah menuju organisasi pembelajar secara efektif
e. Menciptakan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dan inovatif bagi pembelajaran peserta didik
f. Mengelola guru dan staf dalam rangka pendayagunaan sumber daya manusia secara optimal
g. Mengelola sarana dan prasarana sekolah dalam rangka pendayagunaan secara optimal
h. Mengelola hubungan sekolah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan ide, sumber belajar dan pembiayaan sekolah.
i. Mengeola peserta didik dalam rangka penerimaan peserta didik baru, dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik
j. Mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai dengan arah dan tujuan pendidikan nasional
k. Mengelola keuangan sekolah sesuai dengan prinsip pengelolaan yang akuntabel, transparan dan efesien
l. Mengelola ketatatausahaan sekolah dalam emndukung pencapaian tujuan sekolah
m. Mengelola unit layanan sekolah dalam mendukung kegiatan pembelajaran dan kegiatan peserta didik sekolah
n. Mengelola sistim informasi sekolah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan keputusan
o. Memanfaatkan kemajuan tknologi informasi bagi peningkatan pembelajaran dan manajemen sekolah
p. Melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah dengan prosedur yang tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya.
2. Peran Komite Sekolah merupakan variabel bebas yang diberi tanda (X2). Peran sekolah dalam penelitian ini ditinjau dari aspek-aspek yang meliputi :
a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b. Pendukung (supporting agency) baik yang berwujud financial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitasi penyelenggaraa dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
3. Efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah merupakan variabel terikat yang diberi tanda dengan (Y). Efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah dalam penelitian ini ditinjau dari aspek-aspek yang meliputi :
a. Kemandirian ;
b. Demokrasi ;
c. Partisipatif ;
d. Transparansi ;
e. Akuntabilitas ;
Keterkaitan nilai hubungan yang dimunculkan oleh ketiga variabel tersebut dituangkan melalui kerangka konseptual berikut di bawah ini :






Gambar 3.1. : Kerangka konseptual Penelitian




















Kerangka konseptual penelitian di atas menunjukkan bahwa strategi pengelolaan pendidikan yang efektif, yaitu melalui pengoptimalan kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah. Realisasi dari strategi yang ditetapkan diwujudkan melalui implementasi manajemen berbasis sekolah secara optimal untuk mewujudkan pendidikan berkualitas.

3.2. Hipotesis
Hipotesis merupakan dugaan sementara yang kebenarannya masih perlu dibuktikan. Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Terdapat kontribusi kemampuan manjerial kepadla sekolah terhadap efektivitas implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
2. Terdapat kontribusi peran komite sekolah terhadap efektivitas implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).
3. Terhadap kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah terhadap peran komite sekolah.
4. Terdapat kontribusi kemampuan manajerial kepada sekolah dan peran komite sekolah secara bersama-sama terhadap efektivitas implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).











BAB IV

METODE PENELITIAN


4.1. Rancangan Penelitian.

Dalam penelitian ini, karena menggunakan data yang tidak mengalami perlakuan khusus dalam pengumpulan data (bersifat ilmiah, bukan buatan), maka penelitian ini termasuk jenis penelitian survey (Sugiyono, 2008:12). Penelitian survey menurut Singarimbun dan Effendi (1989:3) adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Menurut Alreck dan settle (1995:456) mengatakan bahwa :
A research technique where information requirement are specified, a population is identified, a sample selected and sistematically questioned, and the results analyzed, generalized to the population, and sreported to meet the information needs.

Survey adalah merupakan tehnik / metode penelitian yang dimaksudkan untuk memperoleh informasi dari suatu sampel dalam suatu populasi untuk kemudian dianalisis guna memperoleh generalisasi atas populasi dimana sampel itu diambil/ditarik.
4.2. Populasi dan Penentuan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian. Apabila seseorang ingin meneliti semua elemen yang ada dalam wilayah penelitian, maka penelitiannya merupakan penelitian populasi. Studi atau penelitiannya juda disebut studi populasi atau studi kasus (Suharsimi Arikunto, 2006:130). Di dalam Ancyclopedia of Educational Evaluation disebutkan bahwa :”A Population is a set (or collection) of all processing one or more attributes of interest”. Sememntara Sugiyono (2008:117) memberikan penjelasan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penelitian untuk mempelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi bukan hanya orang, tetapi juga obyek atau benda-benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada obyek/subyek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh subyek atau obyek itu.
Jika kita hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian tersebut disebut penelitian sampel. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Dinamakan penelitian sampel apabila kita bermaksud untuk menggeneralisasikan hasil penelitian sampel, yang dimaksud menggeneralisasikan adalah mengangkat kesimpulan penelitian sebagi suatu yang berlaku bagi populasi (Suharsimi Arikunto, 2006:132).
Sedangkan Sugiyono (2008:118) mengatakan bahwa sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulan akan dapat diberlakukan untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul refresentatif atau mewakili.
Tehnik sampling adalah merupakan tehnik pengambilan sampel yang akan digunakan dalam penelitian. Tehnik sampling dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : Probabulitysampling dan Nonprobability sampling. Probability sampling meliputi, sample random, proportionate stratified random, disproportionate stratifiend random, dan area random. Non probability sampling meliputi sampling sistematis, sampling kouta, sampling aksidental, purposive sampling, sampling jenuh, dan snowball sampling (Sugiyono, 2008:119).
Tehnik pengambilan sampel juga bias menggunakan rumus Slovin (dalam Husein Umar, 2003:120), yaitu :
N
n =
1 + N.e2


Dimana :
n = Sampel
N = ukuran populasi
e = kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang dapat diterolerir (dalam penelitian ini ditetapkan 5 %).
Roscoe dalam bukunya yang berjudul Research Methods for Busines (Sugiyono : 74) memberikan saran-saran tentang ukuran sampel untuk penelitian seperti berikut ini :
1). Ukuran sampel yang layak dalam penelitian adalah antara 30 sampai dengan 500.
2). Bila sampel dibagi dalam kategori (misalnya: pria-wanita, Pegawai Negeri-swasta dan lain-lain), maka jumlah anggota sampel setiap kategori minimal 30.
3). Bila dalam penelitian akan melakukan analisis dengan multivariate (korelasi atau regresi ganda misalnya), maka jumlah anggota sampel minimal 10 kali dari jumlah variabel yang diteliti. Misalnya variabel penelitiannya ada 5 (independent dan dependent), maka jumlah anggota sampel = 10 x 5 = 50.
4). Untuk penelitian eksperimen yang sederhana, yang menggunakan kelompok eksperimen dan kelompok control, amak jumlah anggota sampel masing-masing kelompok antara 10 sampai dengan 20.

Sejalan dengan permasalahan dalam penelitian ini yaitu mengenai kontribusi kemampuan manajerial kepala sekolah dan peran komite sekolah terhadap efektifitas impelementasi manajemen berbasis sekolah di SD Negeri Kota Sibolga, oleh karena itu yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah semua kepala sekolah SD Negeri Kota Sibolga. Karena jumlah variabel dalam penelitian ini ada 3 (tiga) variabel, yaitu 2 (dua) variabel bebas (independent) dan 1 (satu) variabel terikat (dependent), maka penulis menentukan jumlah sampel dalam penelitian ini adalah : jumlah variabe; dalam penelitian ini dikali 15, sehingga 3 x 15 = 45 sampel, yang diambil secara acak (random) dan proporsional, yang terdiri dari :
Tabel 4.1
Populasi Penelitian

No Nama Sekolah Jumlah
1
2
3
4
5
.
45

4.3. Variabel Penelitian
Variabel yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) variabel yang meliputi efektivitas implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Y) merupakan variabel terikat, sedangkan kemampuan manajerial kepada sekolah (X1) dan peran komite sekolah (X2) merupakan variabel bebas. Gambaran ruang lingkup pemaknaan dari ketiga variabel dapat dilihat melalui defenisi operasional.
Defenisi operasional merupakan batasan pengertian yang ditentukan peneliti terhadap istilah-istilah yang dipakai dalam penelitian. Hal ini perlu ditetapkan guna menciptakan suatu kesesuaian dan kesamaan pandangan antara penelitian dan pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini dalam memahami istilah yang ada dalam judul penelitian. Adapun istilah-istilah yang didefenisikan peneliti meliputi :
1. Kemampuan manajerial kepala sekolah (X1)
Upaya untuk menjalankan fungsinya secara maksimal, tentunya kepala sekolah harus memiliki keterampilan manajerial yang memadai, sehingga potensi yang dimiliki dapat diberdayakan ke arah peningkatan mutu pendidikan. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Standa Kepala Sekolah menetapkan kemampuan manjerial yang harus dimililk oleh kepala sekolah, meliputi :
Kemampuan manajerial yang harus dimiliki oleh kepala sekolah, yaitu : Menyusun perencanaan, Mengembangkan organisasi, Memimpin, Mengelola perubahan dan pengembangan, Menciptakan budaya iklim, Mengelola guru dan staf, Mengelola sarana dan prasarana, Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan amsyarakat, Mengelola peserta didik, Mengelola pengembangan kirukulum, Mengelola keuangan, Mengelola ketatausahaan, Mengelola unit layanan khusus, Mengelola sistem informasi, Memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan.

Beranjak dari pemikiran tersebut di atas maka penelitian ini kemampuan manajerial kepala sekolah diartikan sebagai keseluruhan kompetensi yang dimiliki oleh kepala sekolah sebagai pemimpin dalam mengelola keseluruhan sumber daya pendidikan sehingga mampu mendukung tercapainya keberhasilan proses pendidikan sekolah. Kemampuan manajerial kepala sekolah dapat ditinjau dalam kemampuan : menyusun perencanaan, mengembangkan organisasi, memimpin sekolah, mengelola perubahan, menciptakan budaya dan iklim, mengelola guru dan staf, mengelola sarana dan prasarana, mengelola humas, mengelola peserta didik, mengelola pengembangan kurikulum, mengelola keuangan, mengelola ketatausahaan, mengelola unit layanan khusus, mengelola sistim informasi, memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan.
2. Peran Komite Sekolah (X2)
Komite sekolah adalah nama badan yang berkedudukan pada satuan pendidikan, baik jalur sekolah maupun luar sekolah, atau beberapa satuan pendidikan yang sama di satu kompleks yang sama. Keberadaan komite sekolah harus bertumpu pada landasan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan hasil pendidikan di sekolah. Oleh karena itu pembentukannya harus diperhatikan pembagian peran sesuai posisi dan otonomi yang ada.
Peran komite sekolah adalah landasan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan organisasinya. Komite sekolah memiliki peran sebagai mitra kerja lembaga pendidikan (sekolah), diantaranya sebagai penasehat sekolah, pendukung sekolah, pengontrol/pemantau sekolah dan sebagai penghubung dengan stakeholder pendidikan. Indikator peran komite sekolah dapat dikur sejauhmana komite menjalankan perannya, yang meliputi : (1) Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan. (2) Pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. (3) Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitasi penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan, (4) Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan.
3. Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Y)
Efektivitas berkaitan dengan terlaksananya semua tugas pokok, tercapainya tujuan, ketepatan waktu dan adanya partisipasi aktif dari anggota (Mulyasa, 2004: 81). Sejalan dengan Aan Komariah dan Cepi Triatna (2006: 8) menyebutkan: “Efektivitas menunjukkan ketercapaian sasaran/ tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas sekolah ditetapkan sekolah terdiri dari dimensi manajemen dan kepemimpinan sekolah, guru, tenaga kependidikan dan personel lainnya; siswa, kirukulum, sarana-prasarana, pengelolaan kelas, hubungan sekolah dan masyarakaynya; pengelolaan bidang khusus lainnya hasil nyatanya merujuk kepada hasil yyang diharapkan bahkan menunjukkan kedekatan/ kemiripan antara hasil nyata dengan hasil yang diharapkan”.
Indikator yang ditetapkan untuk mengetahu efektivitas implementasi menjadi manajemen berbasis sekolah dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi : 1) Kemandirian;
2) Demokrasi;
3) Partisipatif;
4) Tranparansi; dan
5) Akuntabilitas;
4.4. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Sekolah Dasar Negeri yang ada di Kota Sibolga, waktu penelitian mulai……….
4.5. Instrumen Penelitian.
Pada prinsipnya meneliti adalah melakukan pengukuran, maka harus ada alat ukur yang baik. Alat ukur dalam penelitian biasanya dinamakan instrumen penelitian. Jadi instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang diamati (Sugiyono, 2008:148).
Instrumen penelitian dalam bidang pendidikan sering disusun sendiri, termasuk penguji validitas dan reliabilitasnya. Instrumen dalam penelitian ini ada tiga, yaitu instrumen untuk mengukur kemampuan manajerial kepala sekolah, peran komite sekolah dan efektivitas implementasi manajemen berbasis sekolah.
Sesuai dengan karakteristik penelitian dengan pendekatan kuantitatif, penyusunan instrumen penelitian sebagai alat untuk mengumpulkan data menjadi hal lebih penting yang akan menentukan pada kualitas hasil penelitian. Dalam hubungan ini alat pengumpul data, khususnya angket, dimaksudkan untuk mengukur variabel-variabel penelitian sehingga dapat diperoleh data kuantitatif untuk kemudian dilakukan analisis dengan menggunakan formula statistik yang relevan dengan tujuan penelitian.
1. Pengujian Instrumen
a. Uji Validitas
Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang hendak diukur (Sugiyono, 2005:267). Validitas instrumen dalam penelitian ini diawali dengan validitas konstrak (construct validity) dan validitas isi (content validity). Untuk menguji validitas konstrak dan validitas isi, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Dalam hal ini setelah instrumen di konstruksi tentang isi dan aspek-aspek yang akan diukur dengan berlandaskan teori tertentu, maka selanjutnya dikonsultasikan dengan para ahli. Para ahli diminta pendapatnya tentang instrumen yang telah disusun. Mungkin para ahli akan memberikan keputusan: instrumen dapat digunakan tanpa perbaikan, ada perbaikan, dan mungkin dirombak total. Jumlah tenaga ahli yang digunakan minimal tiga orang dan umumnya mereka yang telah bergelar doctor sesuai dengan lingkup yang telah diteliti. (Sugiyono, 2008:177).
Setelah pengujian validitas konstrak dan validitas isi dari ahli dan berdasarkan pengalaman selesai, maka diteruskan dengan uji validitas empiric (empirical-validity) di lapangan, yaitu dengan mengkorelasikan antar skor item instrumen dalam suatu factor, dan mengkorelasikan skor factor dengan skor total, dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment :
n ∑ xy - ( ∑ x) . ( ∑ y )
rxy =
√{n ∑ x² − (∑x )² } . {n ∑y² - (∑y)²}

Ha : Instrumen soal valid
Ho : instrumen soal tidak valid
a = 0,05 atau 5%
Ha diterima bila r (hitung) > r (tabel)
b. Uji Reliabilitas
Instrumen yang reliable berarti isntrumen yang bila digunakan beberapa kali yang mengukur obyek yang sama, akan menghasilkan data yang sama (Sugiyono, 2005:267). Pengujian reliabilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat dilakukan dengan test-retest (stability), equivalent, dan gabungan keduanya. Secara internal reliabilitas instrumen dapat diuji dengan menganalisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknih tertentu. (Sugiyono, 2005:273)
Untuk menguji reliabilitas instrumen dalam penelitian, dapat digunakan Tehnik Belah Dua (split half) yang dianalis dengan rumus Spearman Brown. Untuk keperluan itu, maka butir-butir instrumen dibelah dua menjadi dua kelompok, yaitu kelompok isntrumen nomor ganjil dan kelompok instrumen nomor genap. Selanjutnya skor total antara kelompok ganjil dan kelompok genap dicari korelasinya dengan menggunakan Pearson Product Moment :
n ∑ xy - ( ∑ x) . ( ∑ y )
rxy =
√{n ∑ x² − (∑x )² } . {n ∑y² - (∑y)²}

Kemudian hasIl korelasi tersebut dimasukkan dalam rumus Spearman Brown :
2. rb
ri = (Sugiyono, 2008:190)
1 + rb

Riduan dan Sunarto (2007:348) mengatakan :
Reabilitas menunjuk pasa suatu pengertian bahwa sesuatu instrumen dapat dipercaya untuk dijadikan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah dianggap baik. Instrumen yang baik tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Reliable artinya dapat dipercaya juga dapat diandalkan. Pengujian reliabilitas dapat dilakukan secara eksternal (stability/test retest, equivalent atau gabungan keduanya) dan secara internal (analisis konsistensi butir-butir yang ada pada instrumen).

Dalam analisis ini apabila item dikalatan valid pasti reliabel (Riduan dan Sunarto, 2007:353).
2. Hasil Uji Coba Validitas Instrumen
a. Hasil Uji Coba Instrumen Variabel Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah (X1).
Instrumen Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah (X1) berupa kuesioner yang terdiri dari 32 item pertanyaan, secara empiric dalam penelitian ini dilakukan uji coba pada 10 responden Kepala SD Negeri di Kota Sibolga yang diambil secara acak. Dan hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 4.2
Rangkuman Hasil Perhitungan Validitas
Varabel Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah (X1)
No Item
Pertanyaan Koefisien korelasi T (Hitung) T (tabel) Keputusan
1
2
3
4
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
b. Hasil Uji Coba Instrumen Variabel Peran Komite Sekolah (X2)
Instrumen Peran Komite Sekolah (X2) berupa kuesioner yang terdiri 20 item pertanyaan. Dan hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 4.3
Rangkuman Hasil Perhitungan Validitas
Varabel Peran Komite Sekolah (X2)

No Item
Pertanyaan Koefisien korelasi T (Hitung) T (tabel) Keputusan
1
2
3
4
5
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
c. Hasil Uji Coba Variabel Efektifitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Y)
Instrumen efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (Y) berupa kuesioner yang terdiri dari 20 item pertanyaan. Dan hasilnya sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 4.4
Rangkuman Hasil Perhitungan Validitas
Varabel Efektivitas Implementasi Manajemen Berbasis Kompetensi (Y)
No Item
Pertanyaan Koefisien korelasi T (Hitung) T (tabel) Keputusan
1
2
3
4
5
.
.
.
.
.
.
.
.
.
4.6. Prosedur Pengambilan Data
Tehnik Pengumpulan Data merupakan suatu cara yang dilakukan untuk memperoleh data yang berkaitan yang diperlukan untuk kepentingan penelitian. Adapun tehnik pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah angket, wawancara, observasi dan studi dokumentasi.
1. Angket
Angket merupakan daftar pertanyaan-pertanyaan tertulis untuk memperoleh data yang disebarkan kepada seluruh responden yang menjadi sampel dalam penelitian.
2. Wawancara
Wawancara merupakan suatu tehnik pemerolehan data melalui Tanya jawab dengan pihak yang ada berhubungannya dengan permasalahan yang menjadi focus kajian dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan dengan pejabat yangberwenang membidangi pendidikan dasar. Wawancara ini dimaksudkan untuk menambah pemahaman tentang masalah yang menjadi focus dalam penelitian ini.
3. Observasi
Yaitu tehnik pemerolehan data melalui pengamatan langsung kepada objek penelitian. Dalam penelitian ini observasi dilakukan kepada semua SD Negeri dan Swasta di Kota Sibolga untuk lebih menambah pemahaman tentang masalah yang menjadi focus penelitian.


4. Studi Dokumentasi
Merupakan cara pemerolehan data melalui bukti-bukti atau dokumen tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dokumen-dokumen yang menjadi sumber data diperoleh di Kantor Dinas Pendidikan Kota Sibolga.
4.7.Cara Pengelolaan Data dan Analisis Data
4.7.1. Cara Pengolahan Data
Tehnik pengolahan data adalah merupakan cara yang ditetapkan dan dilakukan oleh peneliti dalam mengkaji data yang diperoleh sehingga menjadi informasi yang dapat digunakan dalam mewujudkan tujuan penelitian. Hal tersebut senada dengan pendapat Surakhmad (1985:109) yang mengemukakan bahwa :
Mengelola data adalah usaha yang konkrit yang membuat data itu ‘berbicara” sebab betapapun besarnya jumlah dan tingginya nilai data yang terkumpul (sebagai hasil fase pelaksanaan pengumpulan data), apabila tidak disusun dalam satu organisasi dan diolah menurut sistematik yang baik, niscaya data itu tetap mempunyai bahan-bahan yang “membisu seribu bahasa”.

Langkah-langkah pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Penyeleksian data yang diperoleh dari angket sehingga dapat diyakinkan bahwa data yang diperoleh untuk diolah sesuai dengan criteria yang telah ditetapkan.
2. Pembobotan nilai untuk setiap kemungkinan jawaban pada setiap item variabel penelitian dengan menggunakan skala penilaian yang telah ditentukan.
3.Menghitung skor rat-rata dari setiap variabel untuk mengetahui kecendrungan umum jawaban responden terhadap variabel penelitian.
4.Mencari kecendrungan skor rat-rata setiap variabel dengan rumus sebagai berikut :
X
X =
N
Keterangan :

X : rata – rata skor responden
X : jumlah skor dari setiap alternatif jawaban responden
N : jumlah responden
3. Mengkonsultasikan rata-rata skor dengan tabel konsultasi hasil penelitian sebagai berikut :
Penentuan kualifikasi penafsiran dan rentang nilai dari konsultasi hasil perhitungan berdasarkan dari pengembangan nilai skala yang ditetapkan oleh peneliti yaitu skala Likert. Hasil pengembangan tersebut maka diperoleh tabel konsultasi hasil perhitungan kecendrungan rata-rata sebagai berikut :








Tabel 4.5
Tabel Konsultasi Hasil Perhitungan
Kecenderungan Skor Rata-Rata

RENTANG NILAI KRITERIA
4,01 – 500
3,01 – 4,00
2,01 – 3,00
1,01 – 2,00
0,01 – 1,00 Sangat Baik
Baik
Cukup
Rendah
Sangat Rendah

4.7.2. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
4.7.2.1. Uji Persyaratan Analisis
a. Uji Normalitas
Uji normalis data ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang dikumpulkan berdistribusi normal atau tidak. Apabila ternyata data berdistribusi normal maka data yang digunakan adalah dengan statistik parametris, dan apabila data tidak normal, maka olah data yang digunakan dengan statistik nonparametris (Sugiyono, 2007:233). Dan rumus yang digunakan untuk uji Normalitas data adalah :
(f0 – fi)2
X2 = ∑ ft (Sugiyono, 2008:241)



b. Uji Linieritas
Salah satu asumsi dari analisis regresi adalah linieritas. Maksudnya apakah garis regresi antar variabel independent dan variabel dependent membentuk garis linier atau tidak. Kalau tidak linier maka analisis regresi tidak dapat dilanjutkan (Sugiyono, 2008:265).
Adapun untuk menguji linieritas hubungan antar variabel dengan menggunakan langkah-langkah sebagai berikut :
1). Merumuskan Hipotesa, yaitu :
Ho : Hubungan antar variabel berpola tidak linier
Ha : Hubungan antar variabel berpola linier
2). Mencari rumus Kuadrat Error (JKE), dengan rumus :
(∑Y)2
JKE = ∑ ∑Y –
i n

3). Mencari jumlah Kuadrat Tuna Cocok (JKTC), dengan rumus :
JKTC = JKRes - JKE
4). Mencari rata-rata Jumlah Kuadrat Tuna Cocok (RJKTC), dengan rumus :
JKTC
RJKE =
k – 2

5). Mencari rata-rata Jumlah Kuadrat Error (RJKE), dengan rumus :
JKE
RJKE =
n – k





6). Mencari Nilai F (hitung), dengan rumus :

RJKTC
Fhitung =
RJKE

7). Mencari nilai F (tabel), dengan rumus :
Ftabel = F(1 – a) (dk TC), (dk E)
8). Mencari keputusan pengujian linieritas, dengan ketentuan :
Jika F (hitung) > F (tabel), maka Ho diterima dan Ha ditolak, berarti linier, dan
Jika F (hitung) < F (tabel), maka Ha diterima dan Ho ditolak, berarti tidak linier (Riduwan, 2007:104).













DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1991. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Aziz, Abdul. 2003. Fungsi Administrasi Pendidikan Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Di Madrasah Aliyah Darul Uluum Desa Wringinputih Kecamatan Muncar Kabupaten Banyuwangi. Skripsi: UIN Malang.
Djamarah, Saiful Bahri. 1994. Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru. Surabaya: Usaha Nasional.
Engkoswara. (2001). Paradigma Manajemen Pendidikan Menyongsong Otonomi Daerah. Bandung : Yayasan Amal Keluarga

Fattah, Nanang (2000), Manajemen Berbasis Sekolah : Strategi Pemberdayaan Sekolag dalam Rangka Peningkatan Mutu dan Kemandirian Sekolah. Bandung : CV Andira

Fatah, Nanang. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
______ (2000) Manajemen Berbasis Sekolah : Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung : Rosda Karya

______ (2004) Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Dewan Sekolah. Bandung : Pustaka Bani Quraisy

______ (2006) Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung : Rosda Karya

George R. Terry & Leslie W. Rue (1999), Dasar-Dasar Manajemen, Alih Bahasa G. A. Ticoalu. Jakarta : Bumi Aksara

Hasbullah (2006). Otonomi Pendidikan : Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta : Rajawali
Hadi, Sutrisno. 1991. Metodologi Research Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.

Hadiyanto. (2004), Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

Hasibuan, Malayu S.P. 1989. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Haji Masagung.

Imron, Ali dan Burhanuddin. 2003. Manajemen Pendidikan. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor : 044/U/2002 tanggal 2 April 2002 Tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah

Komariah, Aan dan Triatna Cepi. (2005). Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta : Bumi Aksara

Lunenberg, C. Fred and Irby, J. Beverly (2006). The Principalship : Vision to Action. Printed in the United States of Amerika

Mardalis. 1993. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar.

Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung : Rosda Karya

Mulyasa, E. (2005). Menjadi Kepala Sekolah Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung : Rosda Karya

Moleong, Lexy J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nawawi. H. (1992). Administrasi Pendidikan. Jakarta : Hajimasagung.

Nurkolis (2003). Manajemen Berbasis Sekolah : Teori, Model, dan Aplikasi. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana

Nasution, Noehi. 1994. Materi Pokok Psikologi Pendidikan. Jakarta: Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam.

Pidarta, Made. 1988. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara

Peraturan Pemerintah Nomor : 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar

Peraturan Pemerintah Nomor : 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan

Purwanto. (2008). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Cetakan ke Delapan Belas. Bandung : Rosda Karya

Purwanto. (2008). Kontribusi Kinerja Komite Sekolah dan Kemampuan Manajerial Kepala Sekolah Terhadap Efektifitas Implementasi manajemen Berbasis Sekolah (Studi Deskriptif Analitik pada SMA di Kabupaten Purwakarta). Tesis Adpend SPs. UPI Bandung. Tidak diterbitkan

Rebore, W. Ronald and Walmsley E. L. Angela (2007). An Evidence – Based Approach to the Practice of Educational leadership. Printed in the United States of America.

Sa’ud, Syaefudin Udin dan makmum Syamsudin Abin. (2007). Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung : Rosda karya

Sallis, Edward. (2003). Total Quality Management in Education. Alih Bahasa Riyadi Ali Ahmad, dkk. Yogyakarya : IRCiSoD

Sagala, Syaiful (2008). Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Alfa Beta

_______. (2009). Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. Bandung : Alfa Beta

Silalahi. Ulber (2002). Pemahaman Praktis Asas-Asas Manajemen. Bandung : Mandar Maju

Salusu, J. (1996). Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana

Sutisna, Oteng (1989). Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung : Angkasa

Suryosubroto, B. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Yogyakarta : Rineka Cipta

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Adminsitrasi dilengkapi Metode R & D. Cetakan ke Delapanbelas. Bandung : Alfa Beta

Siagian P. Sondang (2008). Filsafat Administrasi, Edisi Revisi. Jakarta : Bumi Aksara

Syafaruddin, Anzizhan. (2004). Sistem Pengambilan Keputusan. Jakarta : Grasindo

Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan. (2008). Pengelolaan Pendidikan. Bandung : Penerbit Jurusan Adpend.

Tilaar, H.A.R (2004). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung : Rosda Karya

Undang-Undang RI. Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah

Undang-Undang RI. Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang RI. Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-undang RI. Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen

Wahab, Azis Abdul. (2008). Administrasi Organisasi dan Kepemimpinan Pendidikan Telaah terhadap Organisasi dan Pengelolaan Organisasi Pendidikan. Bandung : Alfa Beta

Wahjosumidjo, (1999). Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Teoritek dan Permasalahannya. Jakarta : Rja Grafindo

Wahyudi, (2009). Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Organisasi Pembelajar. Bandung : Alfa beta